Jumat, 11 Desember 2020

Soeharto, Mengamankan Cadangan Pangan Rakyat

 Sebuah buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas dalam edisi digital. Membacanya, tak sampai 1 jam akan selesai karena hanya 100 halaman dan mudah dimengerti. Berisi berita lama dan artikel era Presiden Soeharto serta bagaimana kebijakannya dalam pangan dan pertanian.


Dari buku ini, saya sedikit menyimpulkan ternyata kebijakan yang dijalankan sekarang ini tak berubah banyak dari apa yang pernah dilakukan. Bahkan, milestone tujuan jangka panjang yang ditetapkan Presiden Soeharto seolah terhenti di tengah saja tak beranjak maju, dan terus mengulang dari kebijakan lama. 

Sejak dulu, Presiden Soeharto sudah mencanangkan bahwa swamsembada yang dicapai, bukan berarti harus berhenti impor. Mengapa? karena kita hidup di dunia internasional yang harus saling tukar produk dan tidak bisa menutup diri. 

Selain pencadangan swasembada, dibutuhkan kecukupan cadangan pangan. Disinilah peluang impor terbuka, ketika produksi dalam negeri surplusnya hanya sedikit, maka impor untuk cadangan pangan dibutuhkan. Yang menarik, data impor tahun 1985 Indonesia masih impor 590.000 ton dan tahun 1990 impor 1.190.000 ton. Dengan populasi yang jauh berbeda dengan tahun 2019, ternyata cadangan beras dai impor pun relatif sama kebutuhannya?.

Dulu pun, Presiden Soeharto menegaskan pemerintah membuka kesempatan luas bagi dunia usaha swasta agar dapat ikut membangun  pertanian guna mengangkat tingkat hidup para petani. Semua pihak harus berusaha keras agar koperasi dan KUD dapat menjadi salah satu soko guru perekonomian nasional. Sebagai kebijakan yang fenomenal saat itu, perusahaan perkebunan yang memiliki profit tinggi, diminta untuk menjadi motor budidaya bagi karyawan dan masyarakat sekitarnya. Dalam mengusahakan produksi padi, perusahaan perkebunan besar sebagai perusahaan inti dengan mengusahakan tanah secara langsung dan sekaligus membina usaha tani padi sawah di sekitarnya yang diusahakan oleh penduduk. Tanpa mengurangi tanah perkebunan itu sendiri. 

Presiden Soeharto pun menegaskan, melalui KUD, seluruh keperluan petani untuk meningkatkan produksi hendaknya dapat dipenuhi, hasil produksi dapat dipasarkan dan segala kebutuhan hidup dapat disediakan. Karena penyediaan dilakukan secara bersama-sama maka akan tercapai efisiensi. Presiden Soeharto mengimbau agar seluruh petani khusunya kelompok tani masuk menjadi anggota Koperasi Unit Desa (KUD). Sebagian dari keunungan yang didapat KUD akan diterima kembali petani dan tidak jatuh ke pihak lain.

Mungkinkah, pola sistem KUD inilah yang diinginkan Presiden Jokowi dengan korporasi petani nya?

Di era Presiden Soeharto, peran Bulog juga sangat jelas. Pemerintah harus menyelamatkan produksi petani. Gugus tugas dibentuk untuk membeli seluruh gabah dari petani dengan cepat dengan harga yang disesuaikan. Sebagai stabilisator harga beras, Bulog harus siap operasi pasar, agar tidak banyak juga yang disimpan. 

Berlomba dengan pertumbuhan penduduk sepertinya cukup sulit, sehingga harus ada strategi diversifikasi pangan. Menristek BJ Habibie, saat itu, menyatakan bahwa kemandirian di dalam pangan diartikan kecukupan pangan baik secara jumlah, mutu dan kontinuitas yang memerlukan hasil litbang sesuai laju permintaan produk pangan. Kecukupan pangan haruslah mencakup penganekaragaman pangan, perbaikan gizi dan keamanan pangan yang membutuhkan peningkatan inovasi dan teknologi yang lebih maju sesuai dengan perkembangan iptek.

Presiden Soeharto sangat menyadari bahwa swasembada beras masih rentan dengan adanya perubahan iklim dan penyempitan lahan pangan di Pulau jawa. Setelah swasembada beras, dilanjutkan swasembada pangan. Kita harus memanfaatkan lahan di luar Pulau Jawa. Selain itu, perlu mengembangkan sektor agribisnis dan agroindustri hingga mampu menjadi dasar berpijak dalam pembangunan pertanian modern dan berakar di perdesaan. Presiden Soeharto pun mengaskan, hasil pertanian harus dapat memenuhi kebutuhan baku industri, sehingga antara industri pertanian dan industri lain bisa saling mengait. 

Ada pernyataan yang sangat visioner dari Presiden Soeharto bahwa kendati akan menuju ke industri yang kokoh, Indonesia tidak akan dan tidak boleh meninggalkan pertanian. Industri dibangun justru untuk mendukung pertanian. Di bidang pertanian inilah, sebagian terbesar rakyat menggantungkan kehidupannya, sehingga kemajuan pertanian juga berarti kemajuan bagi sebagian terbesar rakyat Indonesia. 

Menariknya di buku ini, di bab terakhir disampaikan artikel kirtikan tentang keterlambatan era Orba memberi imbangan pada teknologi pertanian. Keberpihakan pada sektor pertanian, hanya omongan. Presiden Soeharto dianggap hanya berpihak kepada teknologi tinggi, kemajuan pertanian sangat berjalan lambat. Tatkala Presiden Soeharto begitu mengelukan teknologi tinggi, tiada yang hirau pada larangan memangkas sawah teknis. Pengurangan areal sawah di Jawa seluas hampir sejuta hektar pada kisaran tahun 1984-1994.  Dan pada tahun 1994, Indonesia mulai impor beras 2,4 juta ton. 

Hingga sekarang, Indonesia belum berada pada posisi industri pertanian yang diharapkan sehingga mampu memproduksi secara masal dengan cepat input produksi yang dibutuhkan hingga ke urusan industri perniagaan pertanian. 

Tokyo, 11 Desember 2020