Kamis, 27 Mei 2021

Kondisi Nilai Tukar Petani (NTP) di Masa Pandemi

Oleh: Tri Wahyu Cahyono 
 BPS telah merilis nilai laju pertumbuhan lapangan usaha triwulan pertama di Tahun 2021. Meskipun belum mencapai nilai sebelum pandemi (Tahun 2019), lapangan usaha pertanian, perikanan dan kehutanan memberikan pertumbuhan positif dengan laju pertumbuhan 2,95% (YoY). Tanaman pangan tumbuh sebesar 10,3 % didorong oleh peningkatan luas panen yang didukung oleh cuaca yang kondusif untuk panen raya. Tanaman hortikultura tumbuh 3,02% dengan didorong peningkatan produksi buah dan sayur. Peternakan juga mengalami kenaikan 2,48% didukung oleh naiknya permintaan domestik terhadap komoditas produksi ayam dan telur. Dan perkebunan dengan didukung naiknya harga sawit mampu tumbuh hingga 2,17%. Pertanian kembali menjadi andalan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia ketika menghadapi pandemi covid-19. Hal ini menunjukkan transformasi ekonomi dari sektor pertanian menuju industri belum terjadi secara sempurna sebagaimana negara-negara maju seperti Amerika dan Jepang. Share PDB pertanian terhadap ekonomi nasional sebesar 13,70% dengan distribusi tenaga kerja sektor pertanian sebesar 29,76%.
Bila dilihat dari struktur ekonomi pengeluaran dan spasial. Perekonomian Indonesia masih sangat ditopang oleh konsumsi Rumah Tangga sebesar 57,66% dan diikuti oleh pembentukan modal tetap bruto sebesar 31,73% dan ekspor sebesar 17,17%. Secara spasial, struktur ekonomi masih didominasi oleh provinsi di Pulau Jawa sebesar 58,75% dan Sumatera 21,36%. Di era pandemi ini, semua pulau mengalami pertumbuhan ekonomi negatif kecuali Sulawesi, Maluku dan Papua. Petani sebagai salah satu pelaku yang turut mendukung pertumbuhan ekonomi tersebut, tidak semuanya menikmati dari pertumbuhan ekonomi tersebut. Salah satu indikator yang dijadikan ukuran nya yaitu NTP. Indikator ini digunakan untuk menggambarkan daya tukar dari harga produk pertanian yang dihasilkan petani terhadap barang/jasa yang dikonsumsi petani. Indikator ini juga sering dijadikan sebagai salah satu indikasi level kesejahteraan petani. Bila nilai indeksnya diatas 100 maka usaha taninya dianggap bisa menguntungkan bagi petani, namun bila di bawah 100 menunjukkan usaha komoditas tersebut belum memberikan tambahan penghasilan untuk bisa menutup konsumsi petani. Terlepas dari perdebatan indikator ini layak digunakan sebagai indikator kesejahteraan petani atau tidak, RPJMN 2020-2024 sudah memuat target NTP pada tahun 2024 dengan target NTP menjadi 105. Hal ini menunjukkan target yang optimis, mengingat tidak semua subsektor dalam kondisi nilai yang baik. 

Secara rata-rata umum sektor pertanian NTPnya sudah bernilai 103, namun bila kita lihat subsektor pertanian sempit, hanya hortikultura dan perkebunan yang memiliki nilai diatas 100 yaitu masing-masing 104 dan 117 di bulan April 2021. Sedangkan tanaman pangan dan peternakan bernilai 96 dan 99. Tentu saja, kita tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa petani yang usahanya di sektor tanaman pangan dan peternakan kurang sejahtera, karena NTP hanyalah rasio harga, sedangkan berbicara kesejahteraan menyangkut pendapat riil dan daya beli petani. Setidaknya, dengan NTP bisa menjadi early warning system bagi kita semua bahwa pendapatan dari laba usaha pertanian mengalami kenaikan atau penurunan. Untuk menaikkan NTP petani maka tidak bisa hanya dilihat dari sektor produksi namun juga dari sektor demand atau konsumsi. Di sektor produksi, intervensi dan kebijakan pemerintah serta kolaborasi dengan swasta dan petani sudah cukup bagus dengan ditandai jaminan peningkatan pelayanan untuk peningkatan produksi bagi petani. 

Untuk menaikkan NTP harus ditempuh kebijakan kolaborasi antar kelembagaan negara, bukan hanya Kementerian Pertanian namun juga terkait dengan pihak-pihak penjamin distribusi dan penjaga inflasi. Kenaikan harga di tingkat konsumsi barang/jasa yang dibeli petani akan otomatis menurunkan NTP pertanian. Untuk itu, stabilitas harga konsumsi barang/jasa sangat diperlukan dalam menjaga nilai NTP terus naik. Selain itu, hal-hal yang mempengaruhi inflasi barang/jasa termasuk kondisi politik sangat berpengaruh. Berdasarkan data BPS tahun 2020, kontribusi kenaikan harga dalam menambah jumlah kemiskinan di dominasi kelompok makanan terutama beras dan rokok, sedangkan pada kelompok bukan makanan tertinggi dari kontribusi perumahan. Peran semua pihak dalam menaikkan kesejahteraan atau menurunkan tingkat kemiskinan termasuk di keluarga petani sangat terkait erat, karena 57,3% penduduk miskin berada di pedesaan. Dan, sebagian besar penduduk di pedesaan berprofesi sebagai petani. Artinya, bila kita ingin mengentaskan kemiskinan maka haruslah memperhatikan profesi petani tersebut.

 Karakteristik kemiskinan di Indonesia yaitu mayoritas kepala rumah tangga berpendidikan rendah, termasuk petani yang 28,79% tidak sekolah/tamat SD, 38,47% berpendidikan SD dan 16,8% berpendidikan SMP. Selain itu, kebanyakan rumah tangga miskin minim aliran listrik, sarana sanitasi dan air bersih tidak memadai. Bila dilihat dari jumlah jam kerja, para petani miskin ini juga memiliki jam kerja rendah. Berdasarkan data Sutas 2018, jumlah rumah tangga petani dengan kepemilikan lahan kurang dari setengah hektar sebesar 15,8% juta rumah tangga atau 59% dari total rumah tangga petani pengguna lahan. Skala usaha yang terlalu kecil inilah yang juga sangat berpengaruh dari rendahnya nilai tukar petani karena hanya mengandalkan dari lahan yang sempit. 

Menaikkan NTP sekaligus kesejahteraan petani tidak bisa hanya dilakukan dari satu sisi produksi namun juga kebutuhan konsumsi petani yang tercukupi. Selama ini, dengan intervensi kebijakan di bidang subsidi input produksi dan peningkatan produktivitas komoditas menunjukkan hasil cukup signifikan, meskipun alih fungsi lahan cukup tinggi namun produktivitas tetap bisa meningkat. Sudah saatnya, ada perhatian lebih dari sisi sektor lainnya yaitu agraria dengan reforma agraria nya, sektor pendidikan, kesehatan, perumahan, layanan air dan keamanan. Bila hak-hak kebutuhan hidup terpenuhi secara baik bagi petani miskin, niscaya menaikkan NTP akan lebih mudah. 

Di sisi lain, petani juga membutuhkan ada kesempatan terbuka untuk memperluas usahanya dengan penambahan lahan pertanian. Program kepemilikan tanah untuk pertanian terutama dari lahan-lahan tidur atau tak termanfaatkan menjadi solusi tercepat dalam menaikkan nilai usaha petani. Petani dengan karakteristik pendidikan rendah dan hanya mengandalkan pengalaman akan sangat terbantu dengan pemberian lahan garapan secara cuma-cuma. Disinilah peran kolaborasi pembangunan sangat dibutuhkan, di sektor produksi Kementerian Pertanian bersama stakeholder lainnya menjamin kebutuhan produksi pertanian tercukupi. Kementerian lainnya menjaga stabilitas harga dan daya beli serta pelayanan mendasar untuk hidup. 

Dengan kondisi sekarang ini, tanpa pengurangan kemiskinan seolah naiknya NTP tidak berpengaruh secara konsisten terhadap kemiskinan moneter (pendapatan) atau Indeks Pembangunan Manusia di Pedesaan. Tentu saja, apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas perlu terus dilakukan. Sellain itu, perlu ada perhatian lebih di sektor distribusi dan konsumsi agar daya beli petani naik dan bisa menjadi sejahtera. Kolaborasi merupaka kata kunci yang perlu segera dilakukan oleh jajaran pemerintah baik pusat maupun daerah agar jaminan kepastian usaha sektor pertanian semakin stabil.