Seperti dilaporkan Nikkei Asia (01/12/2022), lebih dari setengah perusahaan manufaktur Jepang berencana untuk mengurangi ketergantungan pasokannya dari China. Hal ini disebabkan kondisi politik ekonomi dan bersitegangnya hubungan Amerika dan China yang semakin memanas. Nikkei melakukan survei kepada perusahaan manufaktur Jepang pada pertengahan November dan hasilnya, 78% perusahaan mengatakan resiko permintaan ke China terkait bahan manufaktur semakin tinggi, dan 53% perusahaan berencana mengurangi ketergantungan pasokannya dari China.
Kebijakan China dengan penerapan zero-Covid dan melockdown kota menjadi pertimbangan juga bagi produsen Jepang untuk segera mencari allternatif produksi penyuplai manufaktur di Jepang. Sebagai alternatifnya, 76% perusahaan melirik Thailand sebagai tempat penyuplainya dan negara Asia Tenggara lainnya. Selain itu, dengan melemahnya nilai tukar Yen, alternatif untuk memindahkan tempat produksi ke dalam negeri juga menjadi pilihan bagi perusahaan untuk menjaga stabilitas nilai upah atau gaji di dalam negeri.
Jepang sebagai salah satu negara industri memang menjadikan China sebagai mitra dagang yang saling menguntungkan karena murahnya bahan pasok untuk industrinya. Namun, dengan panasnya politik global atau perang dagang antara Amerika dan China serta bisa merembet kapada rebutan pengaruh politik seperti yang terjadi di Rusia-Ukraina, apalagi ke konflik Taiwan. Maka, Jepang segera membuat exit plan untuk mencari alternatif tempat lain penyuplai bahan manufaktur sebagai pengganti China.