Jumat, 11 Desember 2020

Soeharto, Mengamankan Cadangan Pangan Rakyat

 Sebuah buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas dalam edisi digital. Membacanya, tak sampai 1 jam akan selesai karena hanya 100 halaman dan mudah dimengerti. Berisi berita lama dan artikel era Presiden Soeharto serta bagaimana kebijakannya dalam pangan dan pertanian.


Dari buku ini, saya sedikit menyimpulkan ternyata kebijakan yang dijalankan sekarang ini tak berubah banyak dari apa yang pernah dilakukan. Bahkan, milestone tujuan jangka panjang yang ditetapkan Presiden Soeharto seolah terhenti di tengah saja tak beranjak maju, dan terus mengulang dari kebijakan lama. 

Sejak dulu, Presiden Soeharto sudah mencanangkan bahwa swamsembada yang dicapai, bukan berarti harus berhenti impor. Mengapa? karena kita hidup di dunia internasional yang harus saling tukar produk dan tidak bisa menutup diri. 

Selain pencadangan swasembada, dibutuhkan kecukupan cadangan pangan. Disinilah peluang impor terbuka, ketika produksi dalam negeri surplusnya hanya sedikit, maka impor untuk cadangan pangan dibutuhkan. Yang menarik, data impor tahun 1985 Indonesia masih impor 590.000 ton dan tahun 1990 impor 1.190.000 ton. Dengan populasi yang jauh berbeda dengan tahun 2019, ternyata cadangan beras dai impor pun relatif sama kebutuhannya?.

Dulu pun, Presiden Soeharto menegaskan pemerintah membuka kesempatan luas bagi dunia usaha swasta agar dapat ikut membangun  pertanian guna mengangkat tingkat hidup para petani. Semua pihak harus berusaha keras agar koperasi dan KUD dapat menjadi salah satu soko guru perekonomian nasional. Sebagai kebijakan yang fenomenal saat itu, perusahaan perkebunan yang memiliki profit tinggi, diminta untuk menjadi motor budidaya bagi karyawan dan masyarakat sekitarnya. Dalam mengusahakan produksi padi, perusahaan perkebunan besar sebagai perusahaan inti dengan mengusahakan tanah secara langsung dan sekaligus membina usaha tani padi sawah di sekitarnya yang diusahakan oleh penduduk. Tanpa mengurangi tanah perkebunan itu sendiri. 

Presiden Soeharto pun menegaskan, melalui KUD, seluruh keperluan petani untuk meningkatkan produksi hendaknya dapat dipenuhi, hasil produksi dapat dipasarkan dan segala kebutuhan hidup dapat disediakan. Karena penyediaan dilakukan secara bersama-sama maka akan tercapai efisiensi. Presiden Soeharto mengimbau agar seluruh petani khusunya kelompok tani masuk menjadi anggota Koperasi Unit Desa (KUD). Sebagian dari keunungan yang didapat KUD akan diterima kembali petani dan tidak jatuh ke pihak lain.

Mungkinkah, pola sistem KUD inilah yang diinginkan Presiden Jokowi dengan korporasi petani nya?

Di era Presiden Soeharto, peran Bulog juga sangat jelas. Pemerintah harus menyelamatkan produksi petani. Gugus tugas dibentuk untuk membeli seluruh gabah dari petani dengan cepat dengan harga yang disesuaikan. Sebagai stabilisator harga beras, Bulog harus siap operasi pasar, agar tidak banyak juga yang disimpan. 

Berlomba dengan pertumbuhan penduduk sepertinya cukup sulit, sehingga harus ada strategi diversifikasi pangan. Menristek BJ Habibie, saat itu, menyatakan bahwa kemandirian di dalam pangan diartikan kecukupan pangan baik secara jumlah, mutu dan kontinuitas yang memerlukan hasil litbang sesuai laju permintaan produk pangan. Kecukupan pangan haruslah mencakup penganekaragaman pangan, perbaikan gizi dan keamanan pangan yang membutuhkan peningkatan inovasi dan teknologi yang lebih maju sesuai dengan perkembangan iptek.

Presiden Soeharto sangat menyadari bahwa swasembada beras masih rentan dengan adanya perubahan iklim dan penyempitan lahan pangan di Pulau jawa. Setelah swasembada beras, dilanjutkan swasembada pangan. Kita harus memanfaatkan lahan di luar Pulau Jawa. Selain itu, perlu mengembangkan sektor agribisnis dan agroindustri hingga mampu menjadi dasar berpijak dalam pembangunan pertanian modern dan berakar di perdesaan. Presiden Soeharto pun mengaskan, hasil pertanian harus dapat memenuhi kebutuhan baku industri, sehingga antara industri pertanian dan industri lain bisa saling mengait. 

Ada pernyataan yang sangat visioner dari Presiden Soeharto bahwa kendati akan menuju ke industri yang kokoh, Indonesia tidak akan dan tidak boleh meninggalkan pertanian. Industri dibangun justru untuk mendukung pertanian. Di bidang pertanian inilah, sebagian terbesar rakyat menggantungkan kehidupannya, sehingga kemajuan pertanian juga berarti kemajuan bagi sebagian terbesar rakyat Indonesia. 

Menariknya di buku ini, di bab terakhir disampaikan artikel kirtikan tentang keterlambatan era Orba memberi imbangan pada teknologi pertanian. Keberpihakan pada sektor pertanian, hanya omongan. Presiden Soeharto dianggap hanya berpihak kepada teknologi tinggi, kemajuan pertanian sangat berjalan lambat. Tatkala Presiden Soeharto begitu mengelukan teknologi tinggi, tiada yang hirau pada larangan memangkas sawah teknis. Pengurangan areal sawah di Jawa seluas hampir sejuta hektar pada kisaran tahun 1984-1994.  Dan pada tahun 1994, Indonesia mulai impor beras 2,4 juta ton. 

Hingga sekarang, Indonesia belum berada pada posisi industri pertanian yang diharapkan sehingga mampu memproduksi secara masal dengan cepat input produksi yang dibutuhkan hingga ke urusan industri perniagaan pertanian. 

Tokyo, 11 Desember 2020

Jumat, 20 November 2020

Meningkatnya Permintaan Pangan, Bukan Hanya Tantangan Tapi Kesempatan

Semua menyadari, produksi pangan untuk memenuhi permintaan domestik saja bukanlah hal yang mudah. Hal itu akan terpenuhi jika antara kebijakan pusat dan daerah berpihak kepada pembangunan pertanian dengan lebih prioritas. Begitu banyak isu mendasar terkait pembangunan pertanian yang harus diselesaikan seperti akses petani terhadap modal dasar bertani yaitu: lahan, benih dan air. Dengan tingginya permintaan pangan, bukan hanya tantangan namun juga peluang (pasar) pertanian nasional bila Indonesia mampu mengelola sumber daya alam dan manusianya dengan baik dan benar. Indonesia sejatinya berpeluang untuk cukup memproduksi sendiri dalam pemenuhan pangan, dengan cara peningkatan kapasitas (capacity building). Salah satu yang disarankan dalam perbaikan kapasitas adalah penerapan peraturan terkait penyuluhan yang diharapkan bisa meningkatkan pendampingan dalam aktifitas dan prodiktifitas petani sehingga bisa menambah pendapatan petani. 

Kesimpulan paragaraf diatas, diambil dari jurnal Asian Journal of Agriculture and Rural Development, yang ditulis oleh Waridin (2013) berjudul “Capacity Building on Food-Crop Farming to Improve Food Production and Food Security in Central Java, Indonesia”. Peningkatan ketahanan pangan di Jawa Tengah dilihat dari sudut pandang peningkatan kapasitas (capacity buliding) terkait produksi tanaman pangan. Studi kasus diambil di Klaten dan Magellang, Jawa Tengah. 

Kebijakan pertanian di Indonesia diarahkan untuk swasembada, khususnya beras. Hal ini dibuktikan sejak tahun 1984 yang berhasil memproduksi beras dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan nasional. Sejak saat itu, prestasi tersebut ingin terus dipertahankan dan beras jadi ikon makanan rakyat yang sudah umum dikonsumsi dari Sabang sampai Merauke. Pada tahun 1965, Jawa mampu memproduksi beras 4,9 juta ton hingga sekarang meningkat menjadi sekitar 30 juta ton. Namun demikian, dengan meningkatnya populasi penduduk, konsumsi beras juga menigkat drastis dari 85 kg/tahun menjadi 140 kg/tahun. Cukup menarik, jika diadakan penelitian terkait pola pangan sehat, terkait meningkatnya penyakit diabetes, karena perubahan pola makan beras yang sangat tinggi. 

Waridin membatasi penelitiannya dengan sudut pandang capacity building. Yang didefiniskan oleh UNDP "define it as “the creation of an enabling environment with appropriate policy and legal frameworks, institutional development, including community participation, human resources development, and strengthening of managerial systems". Berdasarkan hasil penelitian ini, penyuluhan bisa menjadi salah satu usaha untuk meningkatkan kapasitas petani. Mengingat, jumlah petani dengan pendidikan rendah cukup tinggi dan secara usia juga cukup menua (sekitar 60% usia 40-50 tahun). Bahkan, jika dihubungkan dengan kondisi kemiskinan di perdesaan, mayoritas juga para petani. 

Dillihat dari sisi input produksi: tanah, tenaga kerja dan benih menjadi faktor penentu utama peningkatan produksi. Semakin luas lahan yang dikelola (bahkan dimiliki petani untuk produksi) semakin tinggi produksinya. Ditambah lagi, dengan pemakaian pupuk yang tepat seperti peningkatan penggunaan pupuk K, terbukti mampu meningkatkan produksi. Sedangkan pestisida masih dianggap bukan faktor penentu utama dalam peningkatan produksi. Menariknya dari penelitian ini, rata-rata technical efficiency nya sebesar 0,942 yang diartikan petani masih belum efisien dalam aktifitas produksi. 

Kompleksitas permasalahan yang dihadapi petani dalam berproduksi, menurut hemat saya, karena tidak terselesaikannya sistem kepemilikan lahan, sehingga banyak petani tidak memperoleh akses kemudahan mengelola tanah lebih luas. Alih fungsi lahan sangat mudah terjadi karena tidak ada penjagaan terhadap fungsi lahan pertanian. Di sisi input produksi, di perdesaan agak sulit melakukan transformasi struktural dengan adanya teknolog sehingga mengurangi jumlah tenaga kerja. Berimbas kepada mahalnya biaya untuk tenaga kerja (tidak efisien). Belum lagi berbicara masalah benih yang secara industri masih lemah sehingga belum bisa memenuhi secara baik apa yang dibutuhkan oleh petani (tepat waktu, jumlah dan kualitas). Termsuk juga dalam sistem pengairan untuk bertani, perlu diperkuat tata kelola irigasi dan pengembangan pengairan ke semua lahan pertanian, karena tanpa air, produksi pertanian tak bisa dilakukan.

Rabu, 09 September 2020

Skala Kerawanan Pengalaman Kerawanan Pangan (Food Insecurity Experienced Scale/FIES)

Berdasarkan BPSKetidakmampuan seseorang dalam mengakses pangan dapat dilihat dari pengalaman. Kondisi ini umum terjadi pada tingkat sosial ekonomi dan budaya yang berbeda. Skala pengalaman ini berkisar dari ketidakmampuan untuk mendapatkan makanan dalam jumlah yang cukup, ketidakmampuan untuk mengkonsumsi makanan yang berkualitas dan beragam, terpaksa untuk mengurangi porsi makan atau mengurangi frekuensi makan dalam sehari, hingga kondisi ekstrim merasa lapar karena tidak mendapatkan makanan sama sekali. Kondisi seperti ini menjadi dasar untuk membuat skala pengukuran kerawanan pangan berdasarkan pengalaman. Dengan metode statistik tertentu, skala ini memungkinkan untuk menganalisa prevalensi kerawanan pangan secara konsisten antar negara. Tingkat keparahan kondisi kerawanan pangan yang diukur melalui skala ini dapat langsung menggambarkan ketidakmampuan rumah tangga atau individu dalam mengakses makanan yang dibutuhkan secara reguler.

Skala FIES ini berfungsi untuk mengukur persentase individu di populasi secara nasional yang memilliki pengalaman atau mengallami tingkat kerawanan pangan sedang atau parah, setidaknya sekali dalam 12 bulan terakhir. BPS memasukkann indikator FIES ini dalam survei nasional guna memperlihatkan perbedaan tingkat kerawanan pangan berdasarkan pengalaman dalam mengakses pangan. BPS dalam melakukan survey sudah mengacu kepada standar petanyaan yang ada di SDG's. Narasi pertanyaan untuk mengukur skala FIES tersebut diantaranya:

fies susenas

Dari hasil surve, diperoleh data Skala FIES Indonesia adalah sebagai berikut:

Prevalensi Prevalensi Penduduk Dengan Kerawanan Pangan Sedang Atau Berat, Berdasarkan Pada Skala Pengalaman Kerawanan Pangan 
201720182019
Prevalensi8,666,865,42

Sumber: Susenas

Menariknya, jika diperhatikan dari daftar pertanyaan tersebut diatas ada beberapa pertanyaan yang cenderung untuk menjawab ya, sesuai kajian yang yang dillakukan oleh Herlina, Bagus Sartono dan Budi Susetyo. Secara lengkap kajian tersebut bisa dilihat di repository.ipb.ac.id. Berdasarkan hasil kajian tersebut, disarankan perbaikan kalimat survey yang membentuk butir agar dipahami sama oleh berbagai karakteristik rumah tangga. 


RPJMN 2020-2024

Indikator FIES ini sudah diadopsi dalam RPJMN 2020-2024, dalam program prioritas Peningkatan Ketersediaan, Akses dan Kulitas Konsumsi Pangan. Dengan target capaiannya tahun 2020 sebesar 5,2 dan Tahun 2024 sebesar 4,2. Indikator ini masuk diurusan pangan dan pertanian, kemungkinan pendelegasian tanggungjawab untuk indikator ini kepada Kementerian Pertanian. Kemudian, dalam renstra 2020-2024 Kementan dimasukkan sebagai indikator tujuan.

Yang menjadi pertanyaan besar, siapakah atau instansi K/L mana saja yang seharusnya mengambil indikator ini sebagai key perfomance index nya sesuai tugas, fungsi dan kewenangannya. Ada beberapa hal pertanyaan sesuai survey yang bisa membantu untuk cascade kepada K/L yang terkait, pertanyaan tersebut diantaranya:

1. Apabila ada orang yang khawatir tidak akan memiliki cukup makanan karena kurangnya uang atau sumber daya lain, siapakah instansi yang bertanggungjawab?

2. Apabila ada orang tidak mampu menyantap makanan sehat dan bergizi karena kurang uang atau sumber daya lain, siapakah yang bertanggungjawab?

3. Apabila ada orang dalam setahun terakhir hanya menyantap sedikit jenis makanan karena tidak punya uang, siapakah yang bertanggungjawab?

4. Apabila ada orang yang setahun terakhir melewatkan satu waktu makan pada satu hari karena tidak punya uang, siapa yang bertanggungjawab?

5. Apabila selama setahun terakhir, makan lebih sedikit dari biasanya karena tidak punya uang, siapa yang bertanggungjawab?

6. Apabila ada rumah tangga yang kehabisan makanan karena kurangnya uang, siapa yang bertanggungjawab?

7. Apabila ada orang setahun terakhir ini, merasa lapar tapi tidak makan karena tidak punya uang, siapa yang bertanggungjawab?

8. Apabila dalam setahun terakhir, ada orang tidak makan seharian karena kurangnya uang, siapa yang bertanggungjawab?

Dari menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut maka bisa dilihat siapa/instansi apa yang paling punya wewenang untuk mengentaskan kemiskinan dan langsung memberikan bantuan kepada per orang atau rumah tangga untuk mampu membeli/mengkases pangannya. 

Apabila indikator FIES ini didelegasikan ke Kementerian Pertanian, maka apakah Kementan punya fungsi, tugas dan wewenang untuk langsung mengintervensi per orang atau rumah tangga agar bisa atau mampu membeli/akses pangan?

Inilah pentingnya membedah indikator dan formulanya termasuk pertanyaan-pertanyaan dalam surveynya. Maka, menurut pendapat saya, indikator ini akan efektif jika diemban oleh setiap kepala pemerintahan baik pusat maupun daerah (Gubernur/Bupati/Walikota). Untuk K/L yang harus aktif terlibat yaitu kementerian yang punya kewenangan langsung dalam akses memberikan bantuan langsung kepada fakir miskin yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya (membeli/akses pangan). Pengentasan kemiskinan menjadi kunci dalam penanganan kerawanan pangan ini. No left behind, semua harus terlibat dalam pengentasan kemiskinan sehingga tidak ada satu orang atau rumah tangga yang tidak mampu akses pangan (kelaparan) karena kurang uang atau tak mampu membelinya.









Selasa, 11 Agustus 2020

Prevalensi Ketidakcukupan Konsumsi Pangan (The Prevalence of Undernourishment/PoU)

PoU merupakan salah satu indikator SDG (Sustainable Development Goals) dengan target  Tanpa Kelaparan. Pada tahun 2030 diharapkan di dunia sudah tidak ada kelaparan, setiap penduduk miskin mampu mengakses pangan sepanjang tahun. Uniknya, produksi pangan sesungguhnya melimpah, melebihi atau mencukupi untuk kebutuhan setiap orang di dunia ini. Namun, masih terdapat 690 juta orang terkategori undernourishment.

Dalam situsnya, FAO menyebutkan bahwa  The prevalence of undernourishment (PoU) is an estimate of the proportion of the population whose habitual food consumption is insufficient to provide the dietary energy levels that are required to maintain a normal active and healthy life. It is expressed as a percentage. This indicator will measure progress towards SDG Target 2.1. Dengan kata lain, Prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan merupakan estimasi proporsi dari suatu populasi tertentu, dimana konsumsi energi biasanya sehari-hari dari makanan tidak cukup untuk memenuhi tingkat energi yang dibutuhkan untuk hidup normal, aktif dan sehat, yang dinyatakan dalam bentuk persentase. 

Sebagaimana jargon SDG dengan "No Left Behind" maka setiap negara harus ikut berperan aktif dalam mengambil indikator SDGs sebagai kinerja setiap negara agar Goal setiap SDGs tercapai, termasuk PoU ini. BPS telah mendefiniskan, menghitung dan mengambil datanya sebagai bentuk pertanggungjawaban Indonesia kepada dunia terkait indikator ini, apakah setiap tahun terjadi penurunan atau sebaliknya. 

BPS lebih lanjut mendefinisikan ketidakcukupan konsumsi pangan sebagai suatu kondisi dimana seseorang, secara reguler, mengkonsumsi sejumlah makanan yang tidak cukup untuk menyediakan energi yang dibutuhkan untuk hidup normal, aktif dans sehat. Undernourishment berbeda dengan malnutrition dan undernutrition, dimana malnutrition dan undernutrition adalah status gizi seseorang. Undernourishment digunakan sebagai indikator estimasi pada level populasi atau kelompok individu, bukan pada level individu sendiri, sehingga indikator ini tidak tepat digunakan untuk mengidentifikasi individu mana dari populasi tersebut yang mengalamai ketidakcukupan konsumsi pangan.

PoU dinyatakan dalam persentase MDER (Minimum Dietery Energy Requirement). Proporsi populasi yang mengalami ketidakcukupan konsumsi pangan di bawah kebutuhan minimum energi MDER yang diukur dengan kkal. Kebutuhan minimum energi merupakan fungsi kepadatan probabilitas tingkat konsumsi kalori umumnya sehari-hari untuk rata-rata per kapita individu dalam suatu populasi tertentu. Indikator PoU ini dimanfaatkan untuk memonitor tren atau perubahan pola ketidakcukupan konsumsi energi dari makanan, dalam suatu populasi, secara berkala dari waktu ke waktu. Indikator ini dapat menggambarkan perubahan dalam ketersediaan makanan dan kemampuan rumah tangga untuk mengakses makanan, pada tingkat sosial ekonomi yang berbeda, serta pada tingkat nasional dan provinsi/kabupaten. Indikator ini digunakan untuk mengukur target menghilangkan kelaparan secara global karena dianggap memungkinkan untuk mengestimasi kondisi kekurangan pangan yang parah dalam jumlah populasi yang besar. Sumber dan cara pengumpulan data untuk PoU ini diantaranya:

1. BPS dengan Survei Ekonomi Nasional (Susenas), terdapat data konsumsi pangan dan pengeluarqan rumah tangga serta data neraca bahan makanan.

2. Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. Terkait dengan data Neraca Bahan Makanan (Food Balance Sheet)

3. Kementerian Kesehatan. Data tinggi badan menurut umur dan jenis kelamin, hasil dari Riset Kesehatan Dasar. SKMI/SDT untuk data asupan energi individu, hasil dari Litbang Kesehatan. 

4. FAO/WHO. Data referensi standard nasional tentang index mas tubuh dan weight gain.


RPJMN 2020-2024

Pada RPJMN 2020-2024 di Prioritas Nasinoal pertama yaitu Penguatan Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas terdapat indikator PoU yang dijadikan indikator program prioritas:Peningkatan Ketersediaan, Akses dan Konsumsi Pangan. Posisi PoU Indonesia di tahun 2019 sebesar 6,7%. Nilai PoU ditargetkan sebesar 6,2% (tahun 2020) dan 5,0% (tahun 2024). Kementerian/Lembaga negara yang dianggap terlibat dalam capaian PoU ini adalah Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Kesehatan. 

Untuk menurunkan PoU ini maka perlu dipahami faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berdasarkan hasil analisis Eri Mardison, seorang stastisi Madya BPS, bahwa persentase pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh yang sangat besar terhdap kecukupan gizi masayarakat, studi kasus di sumatera Barat pada tahun 2018. Sementara itu, persentase kemiskinan kurang berpengaruh.

Jadi, untuk menangani masalah PoU ini adalah dengan memacu pertumbuhan ekonomi yang akan dengan sendirinya mengurangi PoU. Inilah upaya terbaik dalam mengatasi masalah PoU. Namun, karena pertumbunan ekonomi membutuhkan upaya menyeluruh, maka dalam hal tertentu bila terjadi masalah akut maka pemerintah harus segera memberikan bantuan langsung terhadap orang yang terpapar PoU.

Hasil dari analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prevalensi Ketidakcukupan Konsumsi Pangan di Sumatera Barat Menggunakan GeoDa bisa diunduh disini. Analisa tersebut sudah dipublikasikan dalam Jurnal Riset Gizi, tanggal 31 Mei 2020.

Dari hasil analisa tersebut, PoU akan naik atau turun seiring kondisi pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, tidak cukup hanya Kementan, KKP dan Kemenkes yang terlibat bertanggungjawab dalam capaian indikator tersebut. Seharusnya, Kemenko perekonomian bisa berranggungjawab mengkoordinir semua K/L agar menaikkan pertumbuhan ekonomi. Kemendagri bisa juga mengambil indikator tersebut dan mendelegasikan ke setiap Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kemensos mentargetkan bantuan langsung kepada yang terpapar PoU. 

Sebagaimana jargon SDGs, maka PoU pun akan tercapai jika semua terlibat, No Left Behind.






Minggu, 09 Agustus 2020

Skor Pola Pangan Harapan

Skor Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi pangan sehingga dapat digunakan untuk merencanakan kebutuhan konsumsi pangan. Skor PPH bernilai 100 menunjukkan nilai semua kebutuhan konsumsi tubuh, sehingga semakin tinggi skor PPH semakin beragam dan seimbang konsumsi pangan penduduk. Jika di jaman orde baru kita mengenal 4 sehat 5 sempura maka sekarang para pakar gizi lebih mendetailkan kebutuhan tubuh sesuai dengan bobot masing-masing sumber pangan agar tercipta pola konsumsi yang ideal.

Secara umum, ada 9 kelompok pangan dalam PPH yaitu: padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah serta selain 8 kelompok tersebut dimasukkan ke lain-lain. Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi XI Tahun 2018, ditetapkan bahwa jumlah kalori harian yang ideal dikosumsi orang Indonesia sebesar 2.100 kkal. Seacara lengkap komposisi setiap kelompok pangan yang ideal untuk kita makan bisa dilihat pada tabel dibawah ini.

Skor PPH Tahun 2019 senilai 90,8 mengalami penurunan dibandingkan Tahun 2018 yang senilai 91,3. Dilihat dari komposisi AKG nya, konsumsi padi-padian idealnya 50%, namun konsumsi orang Indonesia di tahun 2019 sebesar 64,4%, masih terlalu tinggi dan harus diturunkan sebesar 14,4%. Kampanye mengurangi konsumsi beras harus dimasifkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dengan menggandeng seluruh stakeholder agar terjadi perubahan mindset konsumsi beras. 

Selain beras (padi-padian) yang sudah melampaui konsumsi ideal, kelompok pangan minyak dan lemak sudah mencapai 12,1%, meskipun idealnya 12%. Sedangkan kelompok pangan hewani tahun 2019 sudah mencapai ideal yaitu 12%. Untuk kelompok pangan lainnya, masih jauh dibawah persentase ideal. 

RPJMN 2020-2024

Di dalam RPJMN 2020-2024, indikator Skor Pola Pangan Harapan dijadikan sebagai salah satu indikasi keberhasilan dalam program prioritas peningkatan ketersediaan, akses dan kualitas konsumsi pangan. Target yang ingin dicapai untuk skor PPH yaitu 90,4 (Th 2020), 91,6 (Th. 2021), 92,8 (Th. 2022), 94,0 (Th. 2023) dan 95,2 (Th. 2024).  Selain skor PPH, indikator yang digunakan adalah Angka Kecukupan Energi (AKE) dengan target 2.100 kkal per tahun hingga tahun 2024, merupakan angka ideal berdasarkan WNPG XI. Begitu pula dengan Angka Kecupan Protein (AKP) ditargetkan 57 gram/kapita/hari. Meskipun terjadi duplikasi indikator karena skor PPH juga berstandar kepada angka ideal AKE dan AKP, di RPJMN ketiga indikator tersebut menjadi indikator program prioritas. Untuk AKE dan AKP berdasarkan baseline tahun 2019, sudah tercapai jauh diatas angka ideal, sehingga RPJMN seolah mensyaratkan kinerja untuk AKE dan AKP kedepan agar diturunkan sesuai angka ideal, bila ditautkan dengan skor PPH masih jauh dibawah angka 100 (sempurna). Selain ketiga indikator tersebut masih ada indikator lain yang dijadikan standar keberhasilan/capaian dalam kinerja yaitu PoU (Prevelence of Under-nourishment) dan FIES (Food Insecurity Experience Scale). Kedua indikator ini akan dibahas tersendiri.

Dari indikator di program prioritas tersebut, dijabarkan kedalam indikator kegiatan prioritas. Salah satunya yaitu Peningkatan kualitas konsumsi, kemanan, fortifikasi dan biofortifikasi pangan. Dengan indikator: konsumsi ikan, konsumsi daging, konsumsi protein asal ternak, konsumsi sayur dan buah, persentase pangan segar yang memenuhi syarat keamanan pangan, luas lahan produksi beras biofortifikasi, akses terhadap dan fortifikasi bagi keluarga dan persentase pansa pangan organik.

Secara lengkap, anda bisa unduh RPJMN disini.


Secara teori, seharusnya target konsumsi mengacu kepada komposisi skor PPH yang ditetapkan di Program Prioritas. Misalnya, target konsumsi buah dan sayuran pada tahun 2020 sebesar 260,2 gr/kapita/hari dan tahun 2024 ditargetkan sebesar 301,3 gr/kapita/hari dengan baseline tahun 2019 yang hanya sebesar 244,3 gr/kapita/hari. Apabila merujuk ke komposisi PPH, ideal konsumsi sayur dan buah hanyalah 250 gr/kapita/hari. Hal ini menunjukkan bahwa cascading (mengalirkan kebawah) dari PPH tidak digunakan sepenuhnya dalam menentukan target indikator di kegiatan prioritas. Dari baseline komposisi PPH tahun 2019, seharusnya jika ingin mencapai peningkatan PPH yang ideal maka kelompok pangan padi-padian harus diturunkan, sedangkan yang lain ditingkatkan sampai batas ideal PPH. Begitu pula dengan munculnya indikator produksi beras biofortifikasi seharusnya ada di indikator penanganan stunting yang ada di prioritas nasionla lainnya.


Kondisi kekinian terkait AKE dan AKP sudah diatas target ideal PPH, lalu ditargetkan hingga 2024 agar sesuai dengan target ideal. Hal ini juga cukup membingungkan karena satu sisi AKE dan AKP sudah tercapai, sedangkan skor PPH masih jauh di bawah nilai 100. Bagaimana caranya menurunkan target AKE dan AKP agar ideal sedangkan PPH belum ideal? tentu saja dengan konsisten merujuk kepada komposisi atau pembobotan kelompok pangan yang ada di PPH. Hal inilah yang akan menjadi membingungkan dalam pendelegasian kinerja stakeholder mana yang harus bertanggungjawab menaikkan dan menurunkan konsumsi agar mendekati nilai ideal PPH?

Semestinya, skor PPH, AKE dan AKP di detailkan per provinsi bahakn kabupaten/kota sehingga terlihata daerah aman saja yang dibawah rata-rata nilai nasional. Maka, fokus pencapaian untuk menaikkan skor indikator tersebut dilakukan didaerah-daereah yang kekurangan. 

Biasanya indikator tersebut akan diminta ke K/L yang punya kewenangan produksi komoditas-komoditas pangan tersebut, padahal jika melihat tusi dan kewenangan berdasarkan perpresnya, dibatasi hanya sampai kepada urusan produksi dan pascapanen. Inilah yang tersurat dari UU pangan Nomor 18 tahun 2012 bahwa ada badan yang mengurusi urusan pangan dibawah Presiden. Selama lembaga itu belum ada maka yang punya kewenangan mengkoordinasi antar K/L harus mengambil indikator tersebut untuk memastikan setiap lembaga bersinergi dan berbagi beban kinerjanya, begitulah jika dilihat dari sudut pandang manajemen strategis.


Kemungkinan besar skor PPH ini dibebankan kepada Kementerian Pertanian yang berwenang meningkatkan produksi pertanian, daya saing dan pemantapan ketahan pangan. Urusan pangan (apalagi konsumsi) belum tertulis/tertera dalam Perpres Tusi kementerian Pertanian. Hanya saja, di Kementerian Pertanian ada eselon I yaitu Badan Ketahanan Pangan sehingga mau tidak mau harus terlibat dalam urusan pangan bersinergi dengan K/L lain. 

Target skor PPH akan lebih efektif jika di cascade ke pemerintah daerah provinsi (Gubernur) dan kabupaten/kota (Bupati/Walikota), berarti harus melibatkan kewenangan Kemendagri. Untuk kampanye konsumsi sehat akan lebih efektif jika Kemendikbud dan Kemenkes terlibat aktif kampanye dan membuat gerakan nasional hidup sehat. 


Pertanyaan besarnya, siapakah yang paling bertanggungjawab dalam mengintervensi naik turunnya konsumsi masayarakat atau berubahnya pola pangan di masyarakat?


Untuk mengetahui secara lengkap data PPH dan komponennya, anda bisa unduh disini.


Penyadaran pentingnya pola hidup sehat dengan PPH dan peningkatan income rumah tangga akan sangat berpengaruh di dalam pencapaian PPH, semakin tinggi pendapatan akan memungkinkan untuk memilih konsumsi yang terbaik untuk tubuhnya. Dan kesadaran akan hidup dengan pola pangan sehat yang menentukan pilihan konsumsi ketika setiap individu mampu mengakses pangan yang diinginkan.


Terakhir, marilah kita dukung program hidup sehat dengan target pola pangan harapan ini.