Skor Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi pangan sehingga dapat digunakan untuk merencanakan kebutuhan konsumsi pangan. Skor PPH bernilai 100 menunjukkan nilai semua kebutuhan konsumsi tubuh, sehingga semakin tinggi skor PPH semakin beragam dan seimbang konsumsi pangan penduduk. Jika di jaman orde baru kita mengenal 4 sehat 5 sempura maka sekarang para pakar gizi lebih mendetailkan kebutuhan tubuh sesuai dengan bobot masing-masing sumber pangan agar tercipta pola konsumsi yang ideal.
Secara umum, ada 9 kelompok pangan dalam PPH yaitu: padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah serta selain 8 kelompok tersebut dimasukkan ke lain-lain. Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi XI Tahun 2018, ditetapkan bahwa jumlah kalori harian yang ideal dikosumsi orang Indonesia sebesar 2.100 kkal. Seacara lengkap komposisi setiap kelompok pangan yang ideal untuk kita makan bisa dilihat pada tabel dibawah ini.
Skor PPH Tahun 2019 senilai 90,8 mengalami penurunan dibandingkan Tahun 2018 yang senilai 91,3. Dilihat dari komposisi AKG nya, konsumsi padi-padian idealnya 50%, namun konsumsi orang Indonesia di tahun 2019 sebesar 64,4%, masih terlalu tinggi dan harus diturunkan sebesar 14,4%. Kampanye mengurangi konsumsi beras harus dimasifkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dengan menggandeng seluruh stakeholder agar terjadi perubahan mindset konsumsi beras.
Selain beras (padi-padian) yang sudah melampaui konsumsi ideal, kelompok pangan minyak dan lemak sudah mencapai 12,1%, meskipun idealnya 12%. Sedangkan kelompok pangan hewani tahun 2019 sudah mencapai ideal yaitu 12%. Untuk kelompok pangan lainnya, masih jauh dibawah persentase ideal.
RPJMN 2020-2024
Di dalam RPJMN 2020-2024, indikator Skor Pola Pangan Harapan dijadikan sebagai salah satu indikasi keberhasilan dalam program prioritas peningkatan ketersediaan, akses dan kualitas konsumsi pangan. Target yang ingin dicapai untuk skor PPH yaitu 90,4 (Th 2020), 91,6 (Th. 2021), 92,8 (Th. 2022), 94,0 (Th. 2023) dan 95,2 (Th. 2024). Selain skor PPH, indikator yang digunakan adalah Angka Kecukupan Energi (AKE) dengan target 2.100 kkal per tahun hingga tahun 2024, merupakan angka ideal berdasarkan WNPG XI. Begitu pula dengan Angka Kecupan Protein (AKP) ditargetkan 57 gram/kapita/hari. Meskipun terjadi duplikasi indikator karena skor PPH juga berstandar kepada angka ideal AKE dan AKP, di RPJMN ketiga indikator tersebut menjadi indikator program prioritas. Untuk AKE dan AKP berdasarkan baseline tahun 2019, sudah tercapai jauh diatas angka ideal, sehingga RPJMN seolah mensyaratkan kinerja untuk AKE dan AKP kedepan agar diturunkan sesuai angka ideal, bila ditautkan dengan skor PPH masih jauh dibawah angka 100 (sempurna). Selain ketiga indikator tersebut masih ada indikator lain yang dijadikan standar keberhasilan/capaian dalam kinerja yaitu PoU (Prevelence of Under-nourishment) dan FIES (Food Insecurity Experience Scale). Kedua indikator ini akan dibahas tersendiri.
Dari indikator di program prioritas tersebut, dijabarkan kedalam indikator kegiatan prioritas. Salah satunya yaitu Peningkatan kualitas konsumsi, kemanan, fortifikasi dan biofortifikasi pangan. Dengan indikator: konsumsi ikan, konsumsi daging, konsumsi protein asal ternak, konsumsi sayur dan buah, persentase pangan segar yang memenuhi syarat keamanan pangan, luas lahan produksi beras biofortifikasi, akses terhadap dan fortifikasi bagi keluarga dan persentase pansa pangan organik.
Secara lengkap, anda bisa unduh RPJMN disini.
Secara teori, seharusnya target konsumsi mengacu kepada komposisi skor PPH yang ditetapkan di Program Prioritas. Misalnya, target konsumsi buah dan sayuran pada tahun 2020 sebesar 260,2 gr/kapita/hari dan tahun 2024 ditargetkan sebesar 301,3 gr/kapita/hari dengan baseline tahun 2019 yang hanya sebesar 244,3 gr/kapita/hari. Apabila merujuk ke komposisi PPH, ideal konsumsi sayur dan buah hanyalah 250 gr/kapita/hari. Hal ini menunjukkan bahwa cascading (mengalirkan kebawah) dari PPH tidak digunakan sepenuhnya dalam menentukan target indikator di kegiatan prioritas. Dari baseline komposisi PPH tahun 2019, seharusnya jika ingin mencapai peningkatan PPH yang ideal maka kelompok pangan padi-padian harus diturunkan, sedangkan yang lain ditingkatkan sampai batas ideal PPH. Begitu pula dengan munculnya indikator produksi beras biofortifikasi seharusnya ada di indikator penanganan stunting yang ada di prioritas nasionla lainnya.
Kondisi kekinian terkait AKE dan AKP sudah diatas target ideal PPH, lalu ditargetkan hingga 2024 agar sesuai dengan target ideal. Hal ini juga cukup membingungkan karena satu sisi AKE dan AKP sudah tercapai, sedangkan skor PPH masih jauh di bawah nilai 100. Bagaimana caranya menurunkan target AKE dan AKP agar ideal sedangkan PPH belum ideal? tentu saja dengan konsisten merujuk kepada komposisi atau pembobotan kelompok pangan yang ada di PPH. Hal inilah yang akan menjadi membingungkan dalam pendelegasian kinerja stakeholder mana yang harus bertanggungjawab menaikkan dan menurunkan konsumsi agar mendekati nilai ideal PPH?
Semestinya, skor PPH, AKE dan AKP di detailkan per provinsi bahakn kabupaten/kota sehingga terlihata daerah aman saja yang dibawah rata-rata nilai nasional. Maka, fokus pencapaian untuk menaikkan skor indikator tersebut dilakukan didaerah-daereah yang kekurangan.
Biasanya indikator tersebut akan diminta ke K/L yang punya kewenangan produksi komoditas-komoditas pangan tersebut, padahal jika melihat tusi dan kewenangan berdasarkan perpresnya, dibatasi hanya sampai kepada urusan produksi dan pascapanen. Inilah yang tersurat dari UU pangan Nomor 18 tahun 2012 bahwa ada badan yang mengurusi urusan pangan dibawah Presiden. Selama lembaga itu belum ada maka yang punya kewenangan mengkoordinasi antar K/L harus mengambil indikator tersebut untuk memastikan setiap lembaga bersinergi dan berbagi beban kinerjanya, begitulah jika dilihat dari sudut pandang manajemen strategis.
Kemungkinan besar skor PPH ini dibebankan kepada Kementerian Pertanian yang berwenang meningkatkan produksi pertanian, daya saing dan pemantapan ketahan pangan. Urusan pangan (apalagi konsumsi) belum tertulis/tertera dalam Perpres Tusi kementerian Pertanian. Hanya saja, di Kementerian Pertanian ada eselon I yaitu Badan Ketahanan Pangan sehingga mau tidak mau harus terlibat dalam urusan pangan bersinergi dengan K/L lain.
Target skor PPH akan lebih efektif jika di cascade ke pemerintah daerah provinsi (Gubernur) dan kabupaten/kota (Bupati/Walikota), berarti harus melibatkan kewenangan Kemendagri. Untuk kampanye konsumsi sehat akan lebih efektif jika Kemendikbud dan Kemenkes terlibat aktif kampanye dan membuat gerakan nasional hidup sehat.
Pertanyaan besarnya, siapakah yang paling bertanggungjawab dalam mengintervensi naik turunnya konsumsi masayarakat atau berubahnya pola pangan di masyarakat?
Untuk mengetahui secara lengkap data PPH dan komponennya, anda bisa unduh disini.
Penyadaran pentingnya pola hidup sehat dengan PPH dan peningkatan income rumah tangga akan sangat berpengaruh di dalam pencapaian PPH, semakin tinggi pendapatan akan memungkinkan untuk memilih konsumsi yang terbaik untuk tubuhnya. Dan kesadaran akan hidup dengan pola pangan sehat yang menentukan pilihan konsumsi ketika setiap individu mampu mengakses pangan yang diinginkan.
Terakhir, marilah kita dukung program hidup sehat dengan target pola pangan harapan ini.
|
0 comments:
Posting Komentar