Food estate bisa diartikan sebagai budidaya yang dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industri yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, modal serta organisasi dan manajemen modern. Ada kata kunci yang cukup menarik, jika dilupakan hal tersebut akan gagal lah food estate, yaitu sistem industri. Secara sederhana, proses industri adalah proses produksi secara masal dan berkesinambungan. Layaknya pabrik manufaktur, industri di sektor pertanian pun harus terintegrasi dengan pabrik olahan setelah diproduksi/panen minimal pabrik pengemasan sebelum produk hasil dipasarkan. Food estate akan mudah dijalankan bila ada pabrikan yang secara berkelanjutan siap menerima dan mengolah hasil pertanian dan sekaligus mendistribusikan hingga ke level pasar.
Sumber gambar: rri.co.id |
Pengembangan food estate sudah pernah dikembangkan di era Presiden Soeharto, kita kenal dengan pengembangan lahan gambut 1 juta hektar di Kalimantan Tengah. Dengan teknologi tinggi dan biaya cukup besar, ternyata belum berhasil menjadikan lahan gambut sebagai food estate yang berkelanjutan. Kemudian, di era Presiden SBY, dimunculkan kembali konsep Merauke Integrated Food and Energy Estate atau disingkat MIFEE. Selain di Merauke, juga dikembangkan di Kalimantan. Untuk program yang kedua ini, pemerintah telah menyiapkan kolaborasi antar lembaga dalam mengatur kemudahan investasi sehingga perusahaan besar bisa menjadi motor penggerak yang bisa bekerjasama dengan para petani. Sayangnya, hal ini pun tidak berlanjut dan perusahaan yang siap menjalankan industri pun tak mampu beroperasi secara berkesinambungan.
Kini, pemerintah memunculkan kembali program food estate yang digarap antar kementerian/lembaga negara sebagai salah satu strategi meningkatkan ketahanan pangan. Nasution dan Bangun (2020) menjelaskan ada 3 (tiga) tantangan yang harus dihadapi dalam pengembangan food estate ini kembali yaitu:
1. Pemilihan lahan dan adanya trauma permasalahan lingkungan di masa lalu. Program pembukaan lahan gambut menjadi pertanian menyisakan sekitar 400.000 hektar hutan tropika basah berubah menjadi lahan terbuka, pola tata air dan kualitasnya yang berubah. Penebangan pohon di hutan tropis saat itu menyebabkan banjir di musim hujan dan mudah terbakarnya di saat kemarau.
2. Sumber Daya Manusia dan konflik dengan masyarakat setempat. SDM menjadi salah satu faktor kegagalan program sebelumnya. Dibutuhkan keterampilan dan keuletan yang cukup tinggi dalam mengelola pertanian di lahan gambut. Selain itu, keberadaan banyaknya pendatang bisa memicu konflik dengan tenaga kerja lokal karena perbedaan etos kerja dan tingkat pendidikan.
3. Anggaran. Pengembangan food estate sangat membutuhkan anggaran besar karena haruslah terintegrasi dengan berbagai sarana prasarana mulai dari hulu hingga hilir. Dibutuhkan pembangunan jaringan irigasi, rehabilitasi lahan, dan penggunaan berbagai teknologi pertanian lainnya.
Yang cukup menarik, polemik dari program dan juga sekaligus tantangan kedepan adalah adanya konflik lahan antara investor dan masyarakat. Apalagi dengan potensi luasan lahan 165.000 ha yang akan digunakan dan menjadi target food estate. Dari luasan potensi tersebut, ada 79.500 ha merupakan lahan tidak produktif yang ditinggalkan oleh petani pada program pengembangan lahan gambut 1 juta ha, serta disinyalir adanya bahan sulfidik yang bersifat racun.
Pemerintah telah menetapkan bahwa tahun 2021 menjadi pelaksanaan food estate di Kalimantan Tengah yang diperkirakan membutuhkan anggaran triliunan rupiah. Sebagai tahap awal, komoditas yang diusahakan adalah padi, singkong dan jagung serta komoditas strategis lainnya. Prioritas sasaran food estate berada di lahan yang sudah pernah dikembangkan, karena lebih efisien, sebagai perbandingan biaya: membuka lahan baru dibutuhkan 30 juta rupiah per hektar sedangkan penggunaan bekas program terdahulu hanya butuh 9 juta rupiah per hektar.
Food estate ini merupakan kerja besar yang harus digarap bareng dengan pola kolaborasi yang apik agar kegagalan masa lalu tak terulang. Pengidentifikasian para pelaku pembangunan harus dilakukan sejak awal sehingga masing-masing bisa melakukan kerja sesuai perannya. Untuk food estate 2020-2023, Kementerian Pertanian berperan dalam penyediaan saranan produksi dan pengawalan budidaya, Kementerian PUPR berperan dalam rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi, Kemendesa PDTT berperan dalam merevitalisasi lahan transmigrasi eksisiting, Kementerian LHK melakukan konservasi dan rehabilitasi lahan gambut, penataan jelajah satwa, tanah objek reforma agraria/TORA dan perhutanan sosial. Kementerian BUMN berperan dalam mewujudkan corporate farm seluas 20 ribu hektar. Kementerian ATR melakukan penetapan Rencana Desain dan Tata Ruang (PDRT), validasi tanah dan sertifikat (Nasution dan Bangun, 2020).
Tentu saja, karena sudah dianggarkan di masing-masing kelembagaan negara termasuk di pemeintahan daerah, pasti akan dilaksanakan sesuai tugas dan fungisnya masing-masing lembaga tersebut. Sebagai contoh, Kementerian Pertanian akan memberikan banyak bantuan agar petani/kelompok tani di lokasi program bisa berproduksi dan memproduktifkan kembali lahan tersebut. Baik bantuan sarpras maupun tenaga ahli dan pendampingan. Begitu juga Kementerian lain, bahkan Kemenhan sudah mempublikasikan hasil panen dari food estate yang mereka kawal.
Sebagaimana pembahasan di awal, kunci konsep food estate ini adalah di proses industrialisasinya. Untuk itu, seyogyanya Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan turut aktif menggagas dan membuat kegiatan terintegrasi dengan food estate ini, bagaimana menjadikan hasil pertanian sebagai satu kesatuan proses industri. Maka, perusahaan yang hadir diusahakan berupa perusahaan yang membantu dan menampung hasil pertanian sekaligus mendistribusikan ke pasar. Perusahaan layaknya menjadi pabrik penampung yang akan menstandarkan produk sehingga bisa dikemas dengan sebuah produk dengan merk komersial.
Untuk memproduktifkan kembali lahan yang telah ditinggalkan dan agar biaya dan teknologi yang dikembangkan tidak sia-sia, maka perlu ada terobosan kebijakan terutama dalam masalah kepemilikan lahan. Para petani atau calon petani harusnya diberi kemudahan untuk memiliki lahan disana, bila perlu diberikan secara gratis dengan syarat hanya boleh difungsikan untuk pertanian, tidak boleh dijual dan siap hidup disana untuk mengelola tanah tersebut. Dari 79.500 hektar saja, bila per keluarga diberikan masing-masing keluarga diberikan tanah seluas 5 ha, maka akan ada 15.900 keluarga yang mendapatkan usaha tani baru disana. Namun, jika status tanah masih milik negara dan ditawarkan untuh hak guna pakai, peluang usaha tentu saja hanya menyasar kepada investor besar. Masyarakat sekitar hanya memperoleh peluang kerjasama dan kesempatan menjadi karyawan/buruh perusahaan tersebut.
Proses berkelanjutan program food estate perlu ditopang oleh supply chain yang baik terutama disektor industri pangan dan minuman yang menjadi perantara penerima hasil produksi para petani. Sebagai tahap awal, pastilah dibutuhkan modal besar untuk membangun infrastrukturnya sehingga memang wajar jika program ini ditangani oleh BUMN dan pemerintah, karena diawal program pasti belum bisa memberikan keuntungan komersial. Setelah semua infrastruktur terbangun dengan baik termasuk jalur transportasi, maka otomatis akan banyak investor yang berani masuk untuk ambil peranan dalam program besar ini karena memiliki peluang usaha yang menjanjikan.