Rabu, 31 Maret 2021

Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan Petani Padi

 Padi atau beras menjadi komoditas pangan penting karena hampir semua penduduk di Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokok. "Belum makan sebelum makan nasi" adalah anggapan yang sangat umum di masyarakat kita. Tak pelak, konsumsi beras melebihi proporsi anjuran dari para ahli gizi dalam pola pangan harapan (PPH). 

Sumber gambar: jakarta.globe.id

Selain itu, beras menjadi sumber karbohidrat yang cukup murah sehingga mudah diakses semua kalangan. Bahkan, beberapa daerah yang dulu terkenal dengan makanan pokok non-beras, berubah menjadi konsumen beras yang cukup tinggi juga. Perubahan pola konsumsi tersebut tentu saja terjadi dengan adanya kebijakan jangka panjang sejak era Orde Baru yang mengenalkan dengan "revolusi hijau" sehingga budidaya padi digencarkan dan diupayakan melimpah (swasembada). 

Berbeda dengan pola konsumsi penduduk di negara maju, dengan pendapatan/income per kapita yang sangat tinggi maka persentase dari penghasilannya untuk pangan semakin kecil. Mereka pun lebih memilki pilihan makanan dengan pola makan sehat dan aman karena peningkatan kemampuan akses terhadap pangan. Hal tersebut menunjukkan, bahwa peningkatan income akan mudah untuk mempengaruhi pola konsumsi masyarakat karena mereka memiliki pilihan makanan lebih banyak, bukan sekedar kenyang.

Berbicara kebijakan padi/beras nasional dan hubungannya dengan kesejahteraan petani,  pergantian era kepemimpinan, masih menyisakan banyak dilema antara produsen padi dan konsumen (warga negara) dalam tema "kesejahteraan". Ketika harga padi naik, maka pemerintah mencoba mencegahnya untuk mengamankan kemampuan konsumen, agar tak banyak penambahan penduduk miskin karena inflasi pangan. Ketika harga padi turun, maka pemerintah pun tak tinggal diam dengan membuat aturan penentuan harga minimal agar produsen tertolong tak banyak merugi. Namun demikian, melihat struktur distribusi perberasan nasional, penikmat keuntungan dari perniagaan padi masih didominasi oleh sektor tengah (middle man/broker/pedagang/businessman, industri logistik, dll). Pola tersebut bukan hanya di Indonesia saja, hampir di setiap negara yang menerapkan liberalisasi, sangat memungkinkan para pemilik modal untuk menguasai jalur distribusi barang/jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak. 

Pada tahun 2010, Muhammad Asaad sudah pernah menganalisis terkait kebijakan ekonomi komoditas padi dan kesejahteraan (Economic Policies on Rice Commodity and Welfare).  Salah satu hasil dari penelitiannya bahwa pengaruh terbesar dari jumlah impor beras di Indonesia adalah harga beras impor, jumlah cadangan beras tersedia, jumlah penduduk dan pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Harga beras impor sendiri sangat dipengaruhi oleh harga beras dunia dan tarif impor.

Penelitian tersebut dilakukan menggunakan simulasi kebijakan secara ekonomotrik, dengan 18 variabel dan data mulai 1979-2008.  Ada 4 simulasi kebijakan yang diujikan yaitu:

1. Menaikkan harga dasar gabah sebesar 20%

2. Pengurangan subsidi pupuk atau menaikkan harga pupuk sebesar 20%

3. Menaikkan tarif impor sebesar 30%, dan

4. Kombinasi kebijakan antara kenaikan harga gabah (20%) dan pengurangan subsidi pupuk (20%).

Hasil penelitian ini melihat dari pendekatan produsen, marketer, konsumen dan pemerintah. Ada sebelas (11) kesimpulan yang dihasilkan dari simulasi kebijakan tersebut, sebagai berikut:

1. Luas panen padi (luas areall persawahan) telah mencapai batas maksimum. Atau bisa dikatakan petani akan tetap mengusahakan sawahnya untuk bercocoktanam, apapun yang terjadi dengan harga pupuk yang naik, curah hujan berkurang, kesulitan kredit/modal, apalagi jika harga gebah naik yang menguntungkan produsen padi. Intinya, luasan panen bersifat inelastis terhadap variabel tersebut.

2. Produktivitas padi mengalami stagnan (bersifat inelastis). Meskipun, kita semua tahu bahwa produktivitas sangat dipengaruhi oleh jumlah penggunaan pupuk, harga pupuk, harga gabah, irigasi, areal intensifikasi, dan fenomena perubahan iklim (seperti El Nino), ternyata produktivitas padi di Indonesia relatif tetap.

3. Orientasi petani dalam menanam lebih kepada kebutuhan konsumsi. Peningkatan produksi tidak terpengaruh oleh kenaikan harga gabah. Hal ini menunjukkan bahwa harga bukanlah orientasi utama para petani.

4. Permintaan komoditas padi (beras) tidak terpengaruh oleh perubahan harga. Kenaikan harga eceran beras menjadi penentu pengaruh permintaan, namun bersifat inelastis. Kenaikan harga eceran hanya berpengaruh dalam waktu pendek. Secara jangka panjang permintaan beras tidak terpengaruh oleh harga karena besarnya penduduk Indonesia yang mengkonsumsi beras. Perubahan harga beras hanya berdampak kecil terhadap permintaan.

5. Impor beras bersifat elastis terhadap total produksi dalam negeri dan jumlah penduduk Indonesia. Variabel yang sangat mempengaruhi impor beras adalah harga beras dunia, tarif impor, nilai tukar, cadangan beras dalam negeri, populasi penduduk dan income per kapita. 

6. Kebijakan menaikkan harga gabah sebesar 20% sangat menguntungkan produsen padi dan meningkatkan pendapatannya (kesejahteraan). Sebaliknya, konsumen akan menurunkan permintaan dan kesejahteraannya. Pilihan kebijakan ini juga memberatkan keuangan negara karena harus menaikkan subsidinya kepada petani dan konsumen yang terdampak sekaligus.

7. Menurunkan subsidi pupuk akan meringankan pemerintah dan dianggap efisien, namun akan menyebabkan penurunan income produsen padi. Kebijakan kenaikan harga pupuk sebesar 20% menyebabkan kenaikan harga beras sehingga permintaan menurun. Secara tidak langsung baik produsen maupun konsumen langsung terdampak, yaitu pendapatan/kesejahteraannya berkurang.

8. Peningkatan tarif impor 30% tidak berdampak kepada total persediaan beras, hanya meningkatkan harga beras dalam persentase yang rendah. Kebijakan ini sangat menguntungkan produsen padi dan pemerintah bisa mendapatkan tambahan dari biaya/tarif tersebut. Namun, konsumen akan sedikit dirugikan dengan naiknya harga sehingga kesejahteraan konsumen menurun.

9. Kombinasi kebijakan antara menaikkan harga dasar gabah dan mengurangi subsidi pupuk merupakan kombinasi kebijakan yang merugikan konsumen karena harga naik, otomatis mengurangi kesejahteraan konsumen. Sedangkan bagi produsen padi masih menguntungkan. Secara ekonomi, kebijakan ini tidak efisien.

10. Untuk peningkatan produktivitas bisa difokuskan dengan pengembangan areal irigasi dan intensifikasi pertanian. Namun demikian, akan berdampak kepada penambahan biaya produksi sehingga harga gabahpun ikut naik yang berujung kepada berkurangnya pendapatan petani. Untuk itu, perlu ada antisipasi kebijakan lain jika hal ini dilakukan.

11. Apabila subsidi dikurangi yang menyebabkan harga naik, maka perlu ada stabilisasi harga jual agar produsen masih bisa untung. Minimal dijaga antara kenaikan harga di sektor input sama dengan keniakan harga di output.

Membaca hasil penelitian diatas yang menggunakan data sepuluh tahun yang lalu, ternyata masih cukup signifikan digunakan sekarang. Problematika dan dilema dalam kebijakan padi masih relatif sama, tergantung kebijakan politik memilih keberpihakan ke arah mana. Apakah hanya berorientasi kepada keuntungan pemerintah, produsen, konsumen atau pengusaha/marketer?. Sayangnya, dalam penelitian tersebut tidak membahas sisi marketer meskipun dalam variabelnya ada "Rice Market Margin" yang selalu positif bila kebijakan 2 dan 4 yang dipilih pemerintah, yaitu mengurangi subsidi atau dikombinasikan dengan menaikkan harga dasar beras. 

Dari simulasi kebijakan ini diketahui bahwa impor beras akan sanagat besar ketika kebijakan 4 yang dipilih yaitu menaikkan harga dasar gabah dan menarik subsidi pupuk sekaligus sebanyak 20%. Dengan harga beras dunia jauh dibawah harag beras domestik, maka sangat menguntungkan untuk mendatangkan beras impor guna memasok permintaan konsumsi beras yang bersifat inelastis tersebut.

Dari alternatif 4 kebijakan tersebut yang relatif sedikit berdampak buruk dan bahkan malah bisa terlihat menstabilkan kondisi dalam negeri adalah kebijakan ketiga yaitu menaikkan tarif impor sebesar 30%. Namun demikian, dengan liberalisasi perdagangan yang dimotori WTO dan Amerika serta sekutunya, penerapan tarif impor menjadi kendala politik dalam perdagangan internasional.

Penelitian ini atau simulasi kebijakan ini bisa dilanjutkan dari perspektif Rice Market Margin, yang selama ini mengambil cukup besar dari pasar perberasan nasional. Selain itu juga bisa menjadi perbaikan tata kelola pasar perberasan nasional. 

Secara lengkap, anda bisa membaca artikel jurnal tersebut disini (Economic Policies on Rice Commodity anda Welfare).
























Sabtu, 20 Maret 2021

[Buku] Ekonomi Beras Kontemporer

 Karya Prof. Bustanul Arifin, dengan tebal 198 halaman, diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, Tahun 2020.

Sumber gambar: www.gramedia.com


Seolah ingin menjawab dan memberikan tantangan dalam setiap perubahan jaman, buku ini menyajikan sejarah panjang kebijakan perberasan di Indonesia lengkap dengan dukungan data dan analisisnya. Namun, mengapa masih terjebak pada masalah yang seperti berulang meski sudah terjadi perubahan jaman.

Di awal tahun 2021, isu impor beras yang dilontarkan Menteri Perdagangan dan Menko Bidang Pereokonomian, menjadi tantangan terhadap teori/konsep dan perbaikan kebijakan perberasan yang telah dibahas secara lugas dalam buku ini.

Prof. Bustanul Arifin, dalam bukunya, secara gamblang menyebutkan godaan terberat dalam perdagangan beras internasional adalah adanya International Price Trap, jebakan harga beras internasional, dimana disparitas atau selisih harga beras dunia dengan harga beras di Indonesia cukup tinggi. Hal ini yang menarik minat para importir (dalam buku juga disebutkan ada "mafia") untuk mengambil peluang membeli dan memasarkannya di Indonesia. Dampak dari keputusan impor di saat ketersediaan beras masih memadai dipastikan menurunkan harga jual beras di Indonesia. Bulog sebagai intrumen negara yang berfungsi mengendalikan harga beras, agak kesulitan karena perubahan fungsi intitusi sejak era reformasi. Bulog bukan hanya berperan sebagai Public Sevice Obligation (PSO), namun juga sebagai lembaga komersial. Dualisme ini memang cukup berkonflik, karena dalam menjalankan PSO tersebut Bulog sangat tergantung dengan kebijakan lain yaitu penentuan harga pemerintah dan aturan penyaluran (distribusi) cadangan beras pemerintah. 

Selama ini, ketika Bantuan Sosial dalam bentuk beras baik dalam program Raskin atau Rastra, Bulog mampu mengandalkan program tersebut untuk menjual atau mengeluarkan stok cadangan beras pemerintah. Namun, sejak perubahan pola distribusi bansos menjadi uang tunai dan rakyat penerima bebas menentukan pilihan beras yang akan dibelinya, maka beras Bulog untuk Rastra mulai tidak laku, akhirnya menumpuk di gudang yang menambah biaya operasional penyimpanan. Bulog pun gagal mendistribusikan sesuai target, sehingga harus menanggung biaya penyimpanan dan kerusakan beras. 

Buku ini sudah memberikan gambaran besar dengan dukungan data cukup lengkap bagaimana sistem produksi beras, perubahan teknologi, stabilisasi harga, distribusi hingga industri perberasan. Tentu saja, dibahas juga beberapa kebijakan pemerintah dan masukannya kedepan, agar permasalahan yang ada tidak terjadi kembali atau dapat teratasi.

Pembahasan beras ini memang selalu menjadi trending topic, karena bukan hanya menjadi komoditas pangan pokok namun sudah menjadi standar stabilitas politik dan ekonomi di Indonesia. Membaca buku ini, kita bisa tergambarkan permasalahan mulai dari hulu (produksi dan input penyedianya), distribusi dan dampak kesejahteraan kepada petani. 

Secara agregat, produksi padi selalu mengalami peningkatan tiap tahun dan surplus dari kebutuhan konsumsi rakyat Indonesia. Namun demikiaan, bila dibedah lebih detail ada permasalahan pola yang berulang yaitu mulai bulan oktober hingga januari terjadi defisit dan puncak surplus ada di bulan Maret dan April. Itulah mengapa dunia politik dan ekonomi Indonesia menjadi heboh, ketika pemerintah mengumumkan rencana impor beras padahal bulan Maret dan April adalah peak season nya petani, berpanen raya, melimpah, yang kudunya berbahagia. Terkena isu impor, langsung harga turun. Aneh? Tentu saja tidak. Karena di buku ini pun sudah dijawab bagaimana struktur pasar beras di Indonesia baik dengan kaitannya perdagangan internasional maupun antar pulau. 

Salah satu kelemahan di sektor hulu bila menyangkut produksi memang karena alih fungsi lahan dan banyaknya petani yang menguasai lahan di bawah 0,5 Ha. Banyak petani yang mengusahakan lahan di bawah luas skala keekonomian. Kurang kuatnya industri pendukung produksi seperti perbenihan, pupuk, alsintan dan pestisida, juga membuat beratnya biaya produksi atau kalah kompetisi jika dibandingkan dengan petani luar. Belum lagi di sektor distribusi yang cukup menikmati banyak keuntungan dari perdagangan beras ini, karena petani tidak banyak yang memiliki usaha penggilingan dan pengeringan maka industri penggilingan besar sangat dominan menjadi penampung hasil panen petani. Belum lagi polemik dengan harga pembelian pemerintah, menjadi pelanggaran bagi perusahaan jika membeli jauh diatas harga yang sudah ditentukan. Inilah yang perlu ditinjau ulang, karena banyak jurnal penelitian yang menyatakan bahwa penentuan harga oleh pemerintah tidak efektif dan berdampak tidak sehatnya perdagangan beras. 

Membaca buku ini, memang sedikit membuat menahan nafas dan mengerutkan dahi karena begitu kompleksitas permasalahannya, meski dalam data pun sudah disajikan beberapa alternatif solusinya. Menurut opini saya, di sektor produksi harus ada reformasi agraria yang memberikan kesempatan bagi petani yang tidak punya lahan atau sempit untuk menambah lahannya dengan cara menghidupkan tanah mati atau pemerintah memberikan lahan yang tidak dimanfaatkan pemiliknya (lahan nganggur) kepada mereka. Setela lahan tersedia untuk diolah maka bantuan modal awal untuk mengolah dan mengelolanya juga perlu dijadikan kebijakan sebagai bagian pengeluaran pemerintah yang rutin. Lallu, mulai melakukan revolusi industri dengan mempermudah masuknya inovasi dan pengembangan usaha perbanyakan secara masif di dalam negeri (pabrik/industri pertanian), sehingga uang belanja untuk alsintan bisa berputar dalam industri dalam negeri. Sebagaimanan dipaparkan dalam buku tersebut, perlu ada perbaikan tugas dan fungsi Bulog sebagai lembaga negara. Bila memang ditugaskan secara penuh untuk membangun cadangan pangan negara, maka perlu didukung oleh industri dan distribusi pangan di setiap daerah, sehingga punya gudang penyimpanan yang modern dan efisien.

Terakhir, saya sangat merekomendasikan bagi anda yang tertarik untuk mengetahui perberasan di Indonesia dengan membaca buku ini.  Dengan cara membaca berkecepatan sedang saja, anda bisa menyelesaikan membacanya sekitar 45 menit -1,5 jam. cukup untuk menjadi teman baik anda ketika naik kereta. 

Semoga perberasan di Indonesia segera stabil dan petani diuntungkan agar tambah sejahtera.

Salam Sehat.


Senin, 01 Maret 2021

Makan Anggur Mencegah Kanker Sekaligus Antipenuaan

 Apabila kita butuh sintesis energi untuk menjaga kestabilan gula di dalam darah, maka buah anggur menjadi pilihan pangan yang tepat karena mengandung zat mangan. Kadar mangannya sebesar 0,07 mg/100 gr buah anggur.  Kalium dalam anggur juga cukup tinggi sebesar 191 mg. Kalium bermanfaat untuk mengendalikan tekanan darah, terapi darah tinggi dan membersihkan karbondioksida di dalam darah. Mineral kalium dalam anggur ini juga bermanfaat untuk mengontrol tekanan darah tinggi dan mencegah serangan stroke. Adanya seng dan mangan dalam anggur bagus untuk para pria dalam menjaga kesuburuannya dan mencegah peradangan prostat (Prabantini, 2013).

Sumber gambar: republika.co.id

Selain itu, biji buah anggur mengandung pynogenol yang bermanfaat mampu menguatkan dan meningkatkan fungsi pembuluh darah. Memilki kemampuan memperlambat mutasi sel, sehingga dianggap bersifat antipenuaan.  Kulit anggur mengandung flavonoid, berperan penting dalam membersihkan pembuluh darah dari penyumbatan untuk mengatasi risiko stroke dan darah tinggi.

Zat resveratol pada kulit anggur mampu meningkatkan antibodi. Zat ini mampu meredakan perkembangan sel-sel yang tidak sehat seperti tumor atau kanker. Apabila dikonsumsi bersama dengan raw food dari nabati dengan antioksidan tinggi maka bisa meredam pertumbuhan kanker.

Mengkonsumsi anggur secara langsung atau jus anggur bisa membantu membersihkan liver dan membantu fungsi ginjal. Kandungan saponinnya sangat berguna untuk menghambat dan mencegah penyerapan kolesterol di dalam darah. 

Bagitu banyak manfaat dari buah famili Vitacea dan genus Vitis ini, maka sangat direkomendasikan untuk setiap hari memakan anggur atau meminum jusnya sebagai salah satu komponen menu makanan sehat. 

Sumber: Prabantini, Dwi. 2013. 18 Makanan dengan Kekuatan Dahsyat Menangkal Kanker. Rapha Publishing. Yogyakarta