Padi atau beras menjadi komoditas pangan penting karena hampir semua penduduk di Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokok. "Belum makan sebelum makan nasi" adalah anggapan yang sangat umum di masyarakat kita. Tak pelak, konsumsi beras melebihi proporsi anjuran dari para ahli gizi dalam pola pangan harapan (PPH).
Sumber gambar: jakarta.globe.id |
Selain itu, beras menjadi sumber karbohidrat yang cukup murah sehingga mudah diakses semua kalangan. Bahkan, beberapa daerah yang dulu terkenal dengan makanan pokok non-beras, berubah menjadi konsumen beras yang cukup tinggi juga. Perubahan pola konsumsi tersebut tentu saja terjadi dengan adanya kebijakan jangka panjang sejak era Orde Baru yang mengenalkan dengan "revolusi hijau" sehingga budidaya padi digencarkan dan diupayakan melimpah (swasembada).
Berbeda dengan pola konsumsi penduduk di negara maju, dengan pendapatan/income per kapita yang sangat tinggi maka persentase dari penghasilannya untuk pangan semakin kecil. Mereka pun lebih memilki pilihan makanan dengan pola makan sehat dan aman karena peningkatan kemampuan akses terhadap pangan. Hal tersebut menunjukkan, bahwa peningkatan income akan mudah untuk mempengaruhi pola konsumsi masyarakat karena mereka memiliki pilihan makanan lebih banyak, bukan sekedar kenyang.
Berbicara kebijakan padi/beras nasional dan hubungannya dengan kesejahteraan petani, pergantian era kepemimpinan, masih menyisakan banyak dilema antara produsen padi dan konsumen (warga negara) dalam tema "kesejahteraan". Ketika harga padi naik, maka pemerintah mencoba mencegahnya untuk mengamankan kemampuan konsumen, agar tak banyak penambahan penduduk miskin karena inflasi pangan. Ketika harga padi turun, maka pemerintah pun tak tinggal diam dengan membuat aturan penentuan harga minimal agar produsen tertolong tak banyak merugi. Namun demikian, melihat struktur distribusi perberasan nasional, penikmat keuntungan dari perniagaan padi masih didominasi oleh sektor tengah (middle man/broker/pedagang/businessman, industri logistik, dll). Pola tersebut bukan hanya di Indonesia saja, hampir di setiap negara yang menerapkan liberalisasi, sangat memungkinkan para pemilik modal untuk menguasai jalur distribusi barang/jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Pada tahun 2010, Muhammad Asaad sudah pernah menganalisis terkait kebijakan ekonomi komoditas padi dan kesejahteraan (Economic Policies on Rice Commodity and Welfare). Salah satu hasil dari penelitiannya bahwa pengaruh terbesar dari jumlah impor beras di Indonesia adalah harga beras impor, jumlah cadangan beras tersedia, jumlah penduduk dan pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Harga beras impor sendiri sangat dipengaruhi oleh harga beras dunia dan tarif impor.
Penelitian tersebut dilakukan menggunakan simulasi kebijakan secara ekonomotrik, dengan 18 variabel dan data mulai 1979-2008. Ada 4 simulasi kebijakan yang diujikan yaitu:
1. Menaikkan harga dasar gabah sebesar 20%
2. Pengurangan subsidi pupuk atau menaikkan harga pupuk sebesar 20%
3. Menaikkan tarif impor sebesar 30%, dan
4. Kombinasi kebijakan antara kenaikan harga gabah (20%) dan pengurangan subsidi pupuk (20%).
Hasil penelitian ini melihat dari pendekatan produsen, marketer, konsumen dan pemerintah. Ada sebelas (11) kesimpulan yang dihasilkan dari simulasi kebijakan tersebut, sebagai berikut:
1. Luas panen padi (luas areall persawahan) telah mencapai batas maksimum. Atau bisa dikatakan petani akan tetap mengusahakan sawahnya untuk bercocoktanam, apapun yang terjadi dengan harga pupuk yang naik, curah hujan berkurang, kesulitan kredit/modal, apalagi jika harga gebah naik yang menguntungkan produsen padi. Intinya, luasan panen bersifat inelastis terhadap variabel tersebut.
2. Produktivitas padi mengalami stagnan (bersifat inelastis). Meskipun, kita semua tahu bahwa produktivitas sangat dipengaruhi oleh jumlah penggunaan pupuk, harga pupuk, harga gabah, irigasi, areal intensifikasi, dan fenomena perubahan iklim (seperti El Nino), ternyata produktivitas padi di Indonesia relatif tetap.
3. Orientasi petani dalam menanam lebih kepada kebutuhan konsumsi. Peningkatan produksi tidak terpengaruh oleh kenaikan harga gabah. Hal ini menunjukkan bahwa harga bukanlah orientasi utama para petani.
4. Permintaan komoditas padi (beras) tidak terpengaruh oleh perubahan harga. Kenaikan harga eceran beras menjadi penentu pengaruh permintaan, namun bersifat inelastis. Kenaikan harga eceran hanya berpengaruh dalam waktu pendek. Secara jangka panjang permintaan beras tidak terpengaruh oleh harga karena besarnya penduduk Indonesia yang mengkonsumsi beras. Perubahan harga beras hanya berdampak kecil terhadap permintaan.
5. Impor beras bersifat elastis terhadap total produksi dalam negeri dan jumlah penduduk Indonesia. Variabel yang sangat mempengaruhi impor beras adalah harga beras dunia, tarif impor, nilai tukar, cadangan beras dalam negeri, populasi penduduk dan income per kapita.
6. Kebijakan menaikkan harga gabah sebesar 20% sangat menguntungkan produsen padi dan meningkatkan pendapatannya (kesejahteraan). Sebaliknya, konsumen akan menurunkan permintaan dan kesejahteraannya. Pilihan kebijakan ini juga memberatkan keuangan negara karena harus menaikkan subsidinya kepada petani dan konsumen yang terdampak sekaligus.
7. Menurunkan subsidi pupuk akan meringankan pemerintah dan dianggap efisien, namun akan menyebabkan penurunan income produsen padi. Kebijakan kenaikan harga pupuk sebesar 20% menyebabkan kenaikan harga beras sehingga permintaan menurun. Secara tidak langsung baik produsen maupun konsumen langsung terdampak, yaitu pendapatan/kesejahteraannya berkurang.
8. Peningkatan tarif impor 30% tidak berdampak kepada total persediaan beras, hanya meningkatkan harga beras dalam persentase yang rendah. Kebijakan ini sangat menguntungkan produsen padi dan pemerintah bisa mendapatkan tambahan dari biaya/tarif tersebut. Namun, konsumen akan sedikit dirugikan dengan naiknya harga sehingga kesejahteraan konsumen menurun.
9. Kombinasi kebijakan antara menaikkan harga dasar gabah dan mengurangi subsidi pupuk merupakan kombinasi kebijakan yang merugikan konsumen karena harga naik, otomatis mengurangi kesejahteraan konsumen. Sedangkan bagi produsen padi masih menguntungkan. Secara ekonomi, kebijakan ini tidak efisien.
10. Untuk peningkatan produktivitas bisa difokuskan dengan pengembangan areal irigasi dan intensifikasi pertanian. Namun demikian, akan berdampak kepada penambahan biaya produksi sehingga harga gabahpun ikut naik yang berujung kepada berkurangnya pendapatan petani. Untuk itu, perlu ada antisipasi kebijakan lain jika hal ini dilakukan.
11. Apabila subsidi dikurangi yang menyebabkan harga naik, maka perlu ada stabilisasi harga jual agar produsen masih bisa untung. Minimal dijaga antara kenaikan harga di sektor input sama dengan keniakan harga di output.
Membaca hasil penelitian diatas yang menggunakan data sepuluh tahun yang lalu, ternyata masih cukup signifikan digunakan sekarang. Problematika dan dilema dalam kebijakan padi masih relatif sama, tergantung kebijakan politik memilih keberpihakan ke arah mana. Apakah hanya berorientasi kepada keuntungan pemerintah, produsen, konsumen atau pengusaha/marketer?. Sayangnya, dalam penelitian tersebut tidak membahas sisi marketer meskipun dalam variabelnya ada "Rice Market Margin" yang selalu positif bila kebijakan 2 dan 4 yang dipilih pemerintah, yaitu mengurangi subsidi atau dikombinasikan dengan menaikkan harga dasar beras.
Dari simulasi kebijakan ini diketahui bahwa impor beras akan sanagat besar ketika kebijakan 4 yang dipilih yaitu menaikkan harga dasar gabah dan menarik subsidi pupuk sekaligus sebanyak 20%. Dengan harga beras dunia jauh dibawah harag beras domestik, maka sangat menguntungkan untuk mendatangkan beras impor guna memasok permintaan konsumsi beras yang bersifat inelastis tersebut.
Dari alternatif 4 kebijakan tersebut yang relatif sedikit berdampak buruk dan bahkan malah bisa terlihat menstabilkan kondisi dalam negeri adalah kebijakan ketiga yaitu menaikkan tarif impor sebesar 30%. Namun demikian, dengan liberalisasi perdagangan yang dimotori WTO dan Amerika serta sekutunya, penerapan tarif impor menjadi kendala politik dalam perdagangan internasional.
Penelitian ini atau simulasi kebijakan ini bisa dilanjutkan dari perspektif Rice Market Margin, yang selama ini mengambil cukup besar dari pasar perberasan nasional. Selain itu juga bisa menjadi perbaikan tata kelola pasar perberasan nasional.
Secara lengkap, anda bisa membaca artikel jurnal tersebut disini (Economic Policies on Rice Commodity anda Welfare).