Karya Prof. Bustanul Arifin, dengan tebal 198 halaman, diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, Tahun 2020.
![]() |
Sumber gambar: www.gramedia.com |
Seolah ingin menjawab dan memberikan tantangan dalam setiap perubahan jaman, buku ini menyajikan sejarah panjang kebijakan perberasan di Indonesia lengkap dengan dukungan data dan analisisnya. Namun, mengapa masih terjebak pada masalah yang seperti berulang meski sudah terjadi perubahan jaman.
Di awal tahun 2021, isu impor beras yang dilontarkan Menteri Perdagangan dan Menko Bidang Pereokonomian, menjadi tantangan terhadap teori/konsep dan perbaikan kebijakan perberasan yang telah dibahas secara lugas dalam buku ini.
Prof. Bustanul Arifin, dalam bukunya, secara gamblang menyebutkan godaan terberat dalam perdagangan beras internasional adalah adanya International Price Trap, jebakan harga beras internasional, dimana disparitas atau selisih harga beras dunia dengan harga beras di Indonesia cukup tinggi. Hal ini yang menarik minat para importir (dalam buku juga disebutkan ada "mafia") untuk mengambil peluang membeli dan memasarkannya di Indonesia. Dampak dari keputusan impor di saat ketersediaan beras masih memadai dipastikan menurunkan harga jual beras di Indonesia. Bulog sebagai intrumen negara yang berfungsi mengendalikan harga beras, agak kesulitan karena perubahan fungsi intitusi sejak era reformasi. Bulog bukan hanya berperan sebagai Public Sevice Obligation (PSO), namun juga sebagai lembaga komersial. Dualisme ini memang cukup berkonflik, karena dalam menjalankan PSO tersebut Bulog sangat tergantung dengan kebijakan lain yaitu penentuan harga pemerintah dan aturan penyaluran (distribusi) cadangan beras pemerintah.
Selama ini, ketika Bantuan Sosial dalam bentuk beras baik dalam program Raskin atau Rastra, Bulog mampu mengandalkan program tersebut untuk menjual atau mengeluarkan stok cadangan beras pemerintah. Namun, sejak perubahan pola distribusi bansos menjadi uang tunai dan rakyat penerima bebas menentukan pilihan beras yang akan dibelinya, maka beras Bulog untuk Rastra mulai tidak laku, akhirnya menumpuk di gudang yang menambah biaya operasional penyimpanan. Bulog pun gagal mendistribusikan sesuai target, sehingga harus menanggung biaya penyimpanan dan kerusakan beras.
Buku ini sudah memberikan gambaran besar dengan dukungan data cukup lengkap bagaimana sistem produksi beras, perubahan teknologi, stabilisasi harga, distribusi hingga industri perberasan. Tentu saja, dibahas juga beberapa kebijakan pemerintah dan masukannya kedepan, agar permasalahan yang ada tidak terjadi kembali atau dapat teratasi.
Pembahasan beras ini memang selalu menjadi trending topic, karena bukan hanya menjadi komoditas pangan pokok namun sudah menjadi standar stabilitas politik dan ekonomi di Indonesia. Membaca buku ini, kita bisa tergambarkan permasalahan mulai dari hulu (produksi dan input penyedianya), distribusi dan dampak kesejahteraan kepada petani.
Secara agregat, produksi padi selalu mengalami peningkatan tiap tahun dan surplus dari kebutuhan konsumsi rakyat Indonesia. Namun demikiaan, bila dibedah lebih detail ada permasalahan pola yang berulang yaitu mulai bulan oktober hingga januari terjadi defisit dan puncak surplus ada di bulan Maret dan April. Itulah mengapa dunia politik dan ekonomi Indonesia menjadi heboh, ketika pemerintah mengumumkan rencana impor beras padahal bulan Maret dan April adalah peak season nya petani, berpanen raya, melimpah, yang kudunya berbahagia. Terkena isu impor, langsung harga turun. Aneh? Tentu saja tidak. Karena di buku ini pun sudah dijawab bagaimana struktur pasar beras di Indonesia baik dengan kaitannya perdagangan internasional maupun antar pulau.
Salah satu kelemahan di sektor hulu bila menyangkut produksi memang karena alih fungsi lahan dan banyaknya petani yang menguasai lahan di bawah 0,5 Ha. Banyak petani yang mengusahakan lahan di bawah luas skala keekonomian. Kurang kuatnya industri pendukung produksi seperti perbenihan, pupuk, alsintan dan pestisida, juga membuat beratnya biaya produksi atau kalah kompetisi jika dibandingkan dengan petani luar. Belum lagi di sektor distribusi yang cukup menikmati banyak keuntungan dari perdagangan beras ini, karena petani tidak banyak yang memiliki usaha penggilingan dan pengeringan maka industri penggilingan besar sangat dominan menjadi penampung hasil panen petani. Belum lagi polemik dengan harga pembelian pemerintah, menjadi pelanggaran bagi perusahaan jika membeli jauh diatas harga yang sudah ditentukan. Inilah yang perlu ditinjau ulang, karena banyak jurnal penelitian yang menyatakan bahwa penentuan harga oleh pemerintah tidak efektif dan berdampak tidak sehatnya perdagangan beras.
Membaca buku ini, memang sedikit membuat menahan nafas dan mengerutkan dahi karena begitu kompleksitas permasalahannya, meski dalam data pun sudah disajikan beberapa alternatif solusinya. Menurut opini saya, di sektor produksi harus ada reformasi agraria yang memberikan kesempatan bagi petani yang tidak punya lahan atau sempit untuk menambah lahannya dengan cara menghidupkan tanah mati atau pemerintah memberikan lahan yang tidak dimanfaatkan pemiliknya (lahan nganggur) kepada mereka. Setela lahan tersedia untuk diolah maka bantuan modal awal untuk mengolah dan mengelolanya juga perlu dijadikan kebijakan sebagai bagian pengeluaran pemerintah yang rutin. Lallu, mulai melakukan revolusi industri dengan mempermudah masuknya inovasi dan pengembangan usaha perbanyakan secara masif di dalam negeri (pabrik/industri pertanian), sehingga uang belanja untuk alsintan bisa berputar dalam industri dalam negeri. Sebagaimanan dipaparkan dalam buku tersebut, perlu ada perbaikan tugas dan fungsi Bulog sebagai lembaga negara. Bila memang ditugaskan secara penuh untuk membangun cadangan pangan negara, maka perlu didukung oleh industri dan distribusi pangan di setiap daerah, sehingga punya gudang penyimpanan yang modern dan efisien.
Terakhir, saya sangat merekomendasikan bagi anda yang tertarik untuk mengetahui perberasan di Indonesia dengan membaca buku ini. Dengan cara membaca berkecepatan sedang saja, anda bisa menyelesaikan membacanya sekitar 45 menit -1,5 jam. cukup untuk menjadi teman baik anda ketika naik kereta.
Semoga perberasan di Indonesia segera stabil dan petani diuntungkan agar tambah sejahtera.
Salam Sehat.
0 comments:
Posting Komentar