Selasa, 29 Juni 2021

Meskipun Pandemik, PDB Vietnam Tumbuh 6,6% di Bulan April-Juni 2021

 Pertumbuhan PDB Vietnam kali ini didukung perkembangan pabrikan smartphone yang jadi andalan ekspor. Ekspor ke USA meningkat menjadi $44,9 milyar dari total nilai ekpor Vietnam sebesaar $157,63 millyar. Ekspor garmen, sepatu dan barang lainnya ke Erop juga meningkat, diakibatkan perjanjian free trade dengan Uni Eropa yang dirasakan dampaknya di Tahun 2021 ini.

sumber gambar: asia.nikkei.com


Pembangunan infrastruktur Vietnam menjadi salah satu kuncinya sebagai pendukung industri agar mampu ekspor. Ada dua terminal baru yang dibangun di Pelabuhan Lach Huyen senilai $304 juta. Tenaga kerja Vietnam yang cukup murah menjadi daya tarik perusahaan luar untuk berinvesatasi disana. 

Disisi lain Vietnam menghadapi masalah yang sama dengan pandemik Covid-19 ini, Pemerintah Vietnam berencana untuk menganggarkan $1,1 milyar untuk vaksinasai penduduknya sejumlah 75 juta penduduk, dengan target di akhir tahun ini bisa mencapai jumlah yang dibutuhkan untuk herd immunity. 

Proyeksi pertumbuhan PDB Vietnam bisa mencapai 6,7%, tertinggi di negara se Asia Tenggara. Keberhasillan program vaksinasi bisa mempercepat pertumbuhan di sektro lain seperti pariwisata dan lainnya.

Suber: Nikkei Asia, 29 Juni 2020.

Minggu, 27 Juni 2021

Ketahanan Pangan di Masa Pandemi

 Oleh: Tri Wahyu Cahyono

The Economist Group telah merilis ranking negara berdasarkan Global Food Security Index (GFSI). Pada tahun 2020 (era mulai pandemi), secara keseluruhan penilaian, Indonesia mengalamai sedikit penurunan skor, dari 60,9 tahun 2019 menjadi 59,5 di tahun 2020. Indonesia pada urutan ke-65 dunia dari sekitar 120 negara. Bila dijabarkan urutan negara dari 4 komponen penilaian ketahanan pangan, posisi Indonesia yaitu: 

1. Affordability (keterjangkauan), berada di urutan ke-55 dengan skor 73,5;

2. Availability (ketersediaan), berada di urutan ke-34 dengan skor 64,7;

3. Quality and safety, berada di urutan ke-89 dengan skor 49,6; dan

4. Natural Resource and Resilience, berada di urutan ke-109 dengan skor 34,1.

Pandemi covid-19 sedikit banyak mempengaruhi penurunan ketahanan pangan di Indonesia, bisa dilihat dari gambar berikut bagaimana perkembangan ketahanan pangan di Indoesia.

Gambar 1. Trend GFSI Indonesia, 2012-2020


Di era pandemi (tahun 2020), meskipun tidak semua variabel mengalami penurunan, ada beberapa yang menunjukkan peningkatan atau bernilai baik (warna hijau). 
Gambar 2. Skor GFSI Indonesia, Tahun 2020


Pada gambar 2 tersebut, perlu dicermati variabel yang berwarna merah. Pada affordability, perubahan biaya pangan karena terkait dengan inflasi dan stabilitas ekonomi menjadi penentu untuk menstabilkan biaya pangan. Begitu pula, akses pasar dan jasa pembiayaan sektor pertanian masih mendapatkan skor kurang atau merah karena pertanian masih dirasakan sebagai sektor yang kurang menguntungkan dan dengan kondisi petani gurem yang sangat besar, menjadikan sektor pertanian kurang menjanjikan. Petani gurem (pengolahan lahan kurang dari 0,5 hektar), secara keekonomian memang kurang menguntungkan, sehingga kesulitan mendapatkan dukungan dari perbankan. Disinilah, peran pemerintah dengan mendororong KUR (Kredit Usaha Rakyat) sebagai penjamin, dimungkinkan bisa meningkatkan akses permodalan sekaligus pasar. 
Dari sisi availability, Indonesia meperbaikai posisi atau skornya dengan cara mengurangi kelemahan atau skor merah seperti peningkatan biaya penelitian, pembangunan infrastrukutur pertanian dan mengurangi hambatan politik dan sosialnya. Banyak pengamat politik dan ekonomi berpendapat dengan ketidakstabilan politik akhir-akhir ini dan maraknya kasus korupsi termasuk kasus bansos, menguatkan bahwa political and social barrier ini menjadi salah satu faktor dalam penurunan ketahanan bangsa. 
Untuk masalah quality and safety, hampir semua berwarna merah, menunjukkan kualitas diversifikasi pangan yang rendah, banyak ditemukan kasus kurang gizi terutama mikronutrien, gizi yang masih dibawah standar dan qualitas protein yang masih rendah. Tentu saja, ini menyangkut masalah konsumsi yang ditentukan oleh kemampaun/daya beli masyarakat dan kesadaran akan pentingnya pola hidup sehat. Distribusi kekayaan sanagat menentukan dalam meningkatkan kualitas konsumsi. Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang maka semakin kecil persentase dari income untuk kebutuhan pangan, sehingga bisa meningkatkan kualitas hidupnya, termasuk mampu memilih jenis konsumsi.
Variabel atau komponen terakhir yang dinilai adalah natural resources and resilience, menjadi komponen terparah dalam penilaian GFSI Indonesia. Eksploitasi sumber daya alam menyebabkan kerusakan alam dan kurang menjaga keberlanjutan demi mengejer pertumbuhan ekonomi sanagat dirasakan hingga dekade ini. Begitu banyak proyek investasi asing untuk mengeksploitasi sehingga berdapampak pada kerusakan lingkungan. Bisa jadi juga, dalam penilainan ini, pihak economist kesulitan endapatkan data-data terkait lahan, air, lautan, sungai, danau dan komitmen pemerintah dalam menghadapi perubahan lingkungan/ikli tersebut. Terlihat, hampir semua komponen penilaian merah, atau memeng benar adanya bahwa sudah terjadi kerusakan dimana-mana baik di darat, laut, dan udara. 
Setidaknya, GFSI ini bisa menjadi bahan evaluasi untuk segera berbenah dan memperbaikan serta mencegah agar tidak jatuh semakin parah dan tidak berdaya dalam urusan pangan. Selain itu, diketahui bahwa urusan ketahan pangan ini bukan hanya urusan ketersediaan (yang terbukti komponen terkuat) namun juga masalah politik, sosial, lingkungan, konsumsi, ekonomi dan teknologi. Semua sektor saling terkait untuk menguatkan ketahanan pangan di Indonesi.

Peran Sektor Pertanian
Berdasarkan data BPS (2020), bahwa sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang masih bertumbuh positif, sharenya terhadap PDB sebesar 13,70% dan berkontribusi di sektor tenaga kerja sebesar 29,76%. Pertanian menjadi sektor yang bisa menolong dalam masa pandemi, banyak tenaga kerja dari sektor lain yang terkena PHK atau kerugian, beralih ke sektor pertanian baik bertani atau usaha pangan. 
Di llihat dari sisi pengeluaran, PDB Indonesia masih mengandalkan konsumsi Rumah Tangga sebesar 57,66%. Hal ini harusnya menjadikan populasi yang tinggi sebagai potensi untuk terus tumbuh ekonominya, asalkan daya beli masyarakat terus dijaga dan meningkat. Tantangan bangsa ini adalah bagaimana menjadikan rakyat menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, sehingga potensi pasar kebutuhan pangan bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri. selain itu, perputaran ekonomi dalam negeri bisa terus naik dan meningkatkan distribusi kekayaan. Sayangnya, di era liberalisasi ini dan e-commerce, rakyat kebanyakan hanya dijadikan sasaran konsumtif oleh pemodal global, sehingga keuntungan dari perniagaan tidak dinikamati di dalam negeri. Itulah mengapa kemiskinan meningkat dan pengangguran terbuka meninggi. 
Dari sisi spasialnya, perekonomian di Indonesia masih didominasi di Pula Jawa sebesar 58,75% dan Sumatera 21,36%. Harusnya ini menjadi salah satu pertimbanangan dalam pengembangan ekonomi dan pertanian. Bagaimana kepadatan populasi di Jawa bisa diurai, dengan memberikan lahan gratis di luar Jawa bagi petani miskin yang tidak punya lahan. Reformasi atau bahkan revolusi agraria menjadi kebutuhan mendesak agar terjadi keadilan pendapatan dan akses yang sama terhadap kepemilkikan lahan. Para penguasa lahan yang sanga luas namun tidak memanfaatkannya atau menguasai hajat hidup oarang banyak seperti hutan, tambang, air dan udara perlu diambil alih oleh negara dan dijadikan sebagai public good. 
Modal utama pertanian adalah lahan/tanah. Meskipun tidak diolah, tanah bisa bisa memunculkan tanaman diatasnya, sehingga kepemilikan lahan tidak terlepas dari fungsinya yaitu diproduktifkan. Belajar dari negara Jepang, selepas masa perang, recovery ekonominya salah satunya ditempuh dengan reformasi lahan. Para pemilki lahan yang memang tidak mau untuk mengelola tanahnya, "dipaksa" menjual ke pemerintah dengan harga mahall tersebut, lalu pemerintah akan menjual kembali kepada petani yang benar-benar mau mengolah tanah tersebut. 
Tanpa pengaturan kepemilkan lahan yang berkeadilan, sangat sulit untuk mengentaskan kemiskinan kalangan petani gurem. 

Di masa pandemi ini, ada beberap sektor yang masih tumbuh positif yaitu: pertanian, infokom, jasa keuangan, jasa pendidikan, jasa kesehatan, real estate dan pengadaan air. Meskipun ada yang peningkatannya tidak setinggi sebelum pandemi. Kondisi keuangan negara yang masih sakit, mengindikasikan untuk mencari pemasukan selain yang sudah ada. Utang negara yang semakin meningkat setiap tahun dan meroket dengan adanya pandemi ini, terasa semakin memberatkan pemerintah ketika harus jatuh tempo pembayaran utang. Beban utang bisa mencapai 40% dari APBN sehingga pastilah sangat memberatkan. Untuk itu, pemerintah mengajukan perubahan UU KUP, dan memasukkan sektor dengan pertumbuhan ekonomi positif agar dikenai pajak, termasuk pertanian dengan komoditas pokok atau sembako pun tak lepas dari incaran perpajakan. 

Pajak Penambahan Nilai di Sektor Pertanian

Sasaran pajak ini adalah pengusaha kena pajak yang beromset 4,5 milyar rupiah per tahun. Bila dilihat rantai pasok pangan di Indonesia, maka siapapun pengusahanya yang bergerak di bidang perniagaan pertanian, semisal beras, (mulai pengepul, pengolah, pedagang tradisional dan modern), apabila mereka terhitung pengusaha kena pajak maka akan dikenai pajak tersebut. Konsekuensi dari pengenaan pajak ini akan semakin membebani para pengusaha sehingga mereka akan menaikkan harga jual produk. Otomatis, produsen (petani) dan konsumen akan terdampak karena pengusaha kena pajak menjadi faktor penentu harga beli dan jual sampai ke konsumen. 

Dalam waktu jangka menengah, dengan tambahan beban dan harga produk pertanian akibat terkena pajak ini, maka kalangan menengah akan turun jumlahnya dan mereka memilih konsumsi dengan kemampuan dan efisiensi pengeluaran rumah tangga. Kualita konsumsi kelas menengah akan menurun. Sedangkan kalangan miskin juga akan terdampak dengan kenaikan harga disebabkan banyaknya permintaan konsumsi beras non premium, pengusaha akan menaikkan harganya. Hukum supply-demand, dengan meingkatnya permintaan konsumi maka akan meingkatkan harga produk. 

Pengusaha yang menghasilkan kelas premium menghadapi dilema, karena pasar dalam negerinya menurun, untuk bersaing ekpspor pun ditentukan oleh harga jual dan biaya produksi. Peningkatan pajak, akan membebani kepada biaya produksi. Disinilah dilemanya, kemungkinan daya saing pun menurun. Bagi pemerintah, setidaknya ada sumber pemasukan kas negara yang bertambah. Dan, tentu saja bisa memberikan insentif tambahan kepada masayarakat termasuk petani dan pengusaha. Menarik pajak bagi kebutuhan khalayak ramai (hajat hidup orang banyak) menjadi dilema dan tambahan beban, beda halnya jika kondisi rakyat serba kecukupan dan makmur, maka penambahan iuran oleh negara karena dibutuhkan, seolah menjadi sedekah mereka.

Setidaknya, dari simulasi sederhana tersebut, peningkatan pajak akan menguntungkan pemerintah dan sedikit menekan konsumsi kalangan menengah karena harga pangan premium meningkat. Daya beli sebagian masayarkat akan turun dan akses pasar semakin rendah. Nilai GFSI keterjangkauan akan semakin rendah. 

Alternatif Solusi Peningkatan Ketahanan Pangan

Berdasarkan data GFSI diatas, maka untuk meningkatkan keterjangkauan dengan cara meningkatkan akses pasar. Peningkatan daya beli rakyat miskin bisa dilakukan dengan bantuan langsung tunai (tunjangan hidup) agar mereka bisa bertahan hidup dan mampu bekerja. Penduduk dengan profesi petani/buruh, diberi kesempatan untuk memilki tanah dan diberikan modal untuk bertani di lahan-lahan yang dikuasai pemerintah di luar Jawa, dengan catatan tanah tersebut tidak boleh dijual. Pemerintah mengambil tanah-tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya selama bertahun-tahun, tanpa diusahakan apapun dan mendistribusikannya kepada rakyat miskin agar dijadikan lahan pertanian. Dalam waktu 1-2 tahun, pemerintah dan perbankan mempermudah akses permodalan dalam menghidupkan tanah terbengkalai tersebut. Setelah para petani tersebut mampu menghidupakan tanah dan menjadikannya produktif selama 2 tahun, pemerintah baru akan memberlakukan pajak hasil produksi dan pajak tanah.

Untuk meningkatkan availability, sangat erat hubungannya dengan trasnportasi dan infrstruktur pertanian. Orientasi infratsruktur pemerintah perlu difokuskan untuk pelayana rakyat seperti jalan umum hingga merambah ke sawah-sawah. Pembangunan tempat penyediaan air untu rumah juga terintegrasi untuk sawah, sehingga setiap rakyat bisa mendapatkan pelayanan yang sama baik untuk hidup dan untuk bertani. Peningkatan biaya penelitian dan adopsi teknologi agar petani mudah menerapkan teknologi kekinian yang berfungsi mempermudah dan efisien. Dan yang paling berat, menstabilkan kehidupan politik dan sosial. Kondisi politik suatu bangsa sangat mempengaruhi ketahanan pangan, karena kebijakan yang dihasilkan bisa kontraproduktif dengan tujuan ketahanan pangan. Selain itu, tingginya tingkat korupsi juga membuat kehidupan sosial tak stabil, rakyat mulai kurang percaya kepada pemerintahnya sehingga berbuah ketidakteraturan sosial di masyarakat.

Untuk meningkatkan kualitas dan keamanan pangan, perlu memasukkan kurikulum dan gerakan massal kampanye hidup dan makan sehat sedini mungkin. Peningkatan kemakmuran rakyat akan meninggikan pola pangan sehatnya karena bisa membeli makanan yang relatif lebih mahal namun sehat. Kebanyakan pangan kurang berniali gizi dan kurang sehat, karena menekan harga atau keterbatasan biaya produksi. Bagi rakyat miskin (dengan kemampuan beli minim), yang penting kenyang dulu, baru berpikir pangan sehat. Bagi rakyat miskin, pemerintah harus menyediakan atau mendukung semua komponen bangsa untuk terlibat dalam bantuan pangan sehat. Perubahan konsumsi harus dimulai dari perubahan pemahaman tentang makanan sehat. Lalu, pemerintah mengatur mana saja makanan yang boleh beredar dan mana yang tidak dengan standar halal dan baik (sehat). 

Terakhir, sumber daya alam perlu dikelola secara bijak, jangan hanya karena berharap ekonomi tinggi lalu mengeksploitasi habis-habisan. Perlu adanya perubahan paradigma pembangunan, bukan lagi berorientasi kepada pertumbuhan semata tetapi keberlanjutan dan berkesinambungan. Telah nyata kerusakan di bumi, air dan udara karena ulah tangan manusia. 


Tri Wahyu Cahyono,
PhD Student
Food Economics Laboratory
Graduate School of Bioagricultural Sciences
Nagoya University
Chikusa, Nagoya,  Japan

Kamis, 17 Juni 2021

Kebijakan Peningkatan Produksi dan Swasembada Pangan di Jepang pada Masa Post War

 Oleh: Tri Wahyu Cahyono

Jepang, pada tahun 1950-1970, mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat (rapid economic growth era). Sepanjang 20 tahunan tersebut terjadi beberapa peristiwa besar politik yang sangat berpengaruh dalam perekonomian Jepang. Pada tahun 1950-1953, terjadi peningkatan perang dingin yang ditandai dengan Perang Korea. Pada masa ini, kebijakan ekonomi Jepang terpusat pada kemandirian (self-reliance). Jepang merubah strategi ekonominya dari strategi sebelum perang menjadi pasca perang, dari industri tekstil menjadi industri berat seperti mesin dan produk kimia. Langkah ini mengubah Jepang menjadi salah satu negara industri di dunia. 

Sumber gambar: wikipedia.org


Masa post-war ini cukup penting karena memberikan pondasi bangsa yang kuat dalam kemandirian. Perubahan titik berat industri menuju industri berat (teknologi) dan kimia memberikan harapan ekonomi yang cukup menjanjikan dan melangkah ke negara dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi. Pada tahun 1955-1965, Jepang mampu menjadi negara industri berat dan kimia dengan ekonomi yang tinggi. Jepang mampu menlampui pertumbuhan ekonomi 2-3 kali pertumbuhan negara-negara industri Barat seperti USA, UK, Jerman, Perancis dan Itali. 

Pada tahun 1965-1970an, pertumbuhan ekonomi Jepang terganggu dengan perubahan ekonomi dunia, dengan adanya krisis minyak bumi dan perubahan sistem mata uang dunia (berakhirnya Bretton Woods System). Produk hasil industri berat dan kimia Jepang sangat unggul di duni sehingga Jepang menikmati keuntungan dari industri ini. Di lain pihak, sektor pertanian tertekan sehingga Jepang menjadi negara improtir produk pertanian USA. Periode ini, di Jepang mengalamai penurunan swasembada pangan dan produk pertanian.

Fenomena pertumbuhan sangat cepat di Jepang pada saat itu, menyebabkan impor pertanian meningkat dan swamsembada pangan menurun. Pada saat yang bersamaan, target untuk meningkatkan produksi pertanian dan swasembada menjadi kurang penting lagi dalam kebijakan pertanian. Untuk itu, di era awal pasca perang, Jepang menghadapai kondisi untuk mempercepat transformasi ekonomi. 

Upaya untuk meningkatkan produksi dan swasembada pangan menjadi dasar pijakan penting dalam periode berikutnya ketika menjadi negara industri berat dan kimia. Jepang mengalami kelemahan dalam pertukaran mata uang asing. Imbasnya, impor sektor pertanian meningkat. Harga produk pertanian masih rendah dan tetap dijaga agar bisa rendah agar seimbang dengan upah/gaji yang masih rendah, agar daya beli rakyat tetap tinggi. Pemerintah Jepang tetap memberikan subsidi yang tinggi terhadap disparitas harga impor dan produk nasionalnya. Meskipun produk pertanian meningkat namun belum mencukupi persediaan dalam negeri. Di satu sisi, di perdesaan Jepang masih cukup bahakn surplus populasi penduduknya, yang mayoritas sebagai keluarga petani. Pemerintah mengeluarkan "Five year Plan to Increase Food Production (1953-1957)" yang diterbitkan tahun 1952. Berdasarkan dokumen tersebut ditargetkan peningkatkan produksi padi dan gandum 2,7 juta ton dan mengurangi impor pangan sebesar 0,83 juta ton selama lima tahun. 

Selain peningkatan produksi padi dan gandum, Jepang juga mentargetkan peningkatan produksi ternaknya. Melalui "Dairy Farming Promotion Law" tahun 1954, tarif impor bahan pakan ternak menjadi salah satu yang diatur dalam impor bahan baku untuk industri pakan. Bersamaan dengan liberalisasi perdagangan, Jepang memberlakukan tariff-free gandum dari USA untuk pabrik pakan.

Keringanan Pajak dan Kenaikan Harga Produk Pertanian

Pada tahun 1947-1949, petani diwajibkan membayar pajak pendapatan sebesar 15-19% dari hasil pertaniannya, namun kemudian dikurangi menjadi 9-10% pada tahun 1950-1953. Kebijakan tersebut sebagai salah satu dukungan pemerintah untuk meningkatkan produksi dan pemberian insentif bagi petani. Pasca perang, petani mulai menjual produknya ke pasar terbuka untuk produk kacang-kacangan, kentang, dan gandum, yang semula dipatok oleh pemerintah. Namun demikian, pemerintah masih memberlakukan kontrol penuh terhadap komoditas pangan pokok seperti beras, sehingga pemerintah harus menganggarkan lebih untuk mengatur harga besar di pasar. Pada tahun 1950-1954, rasio harga beras terhadap ongkos produksi, petani masih menerima 170%. Bahkan pada tahun 1955, rasio harga yang diterima petani bisa mencapai 211% dari ongkos produksinya. 

Selain beras, pemerintah juga melakukan kontrol harga terhadap makanan pokok sereal. Pada masa tersebut, produk sereal lokal mengalami penurunan karena US sebagai eksporter terbesar dunia mengaami surplus cukup besar, dan menjadikan program makan sereal sebagai kampanye hidup sehat seluruh dunia termasuk di Jepang, sehingga banyak bantuan pangan berupa sereal yang masuk dari Amerika. Pada tahun 1953, diterbitkanlah The Agricultural Products Price Stabilization Law, guna menjami dan melindungi harga produk dalam negeri terutama untuk pangan pokok seperti beras, sereal, kentang dan kedelai (ditambahkan pada tahun 1956).

Salah satu bentuk kebijakan pemerintah di masa pasca peran ini adalah dengan meningkatkan produksi pertanian dan perlindungan petani dengan pengurangan pajak pertanian. Selain itu juga dengan meningkatkan harga produk pertanian, perbaikan lahan pertanian dan peningkatan pelayanan pertanian. 

Sebagai negara industri, Jepang mendukung penuh peningkatan produk pertanian dengan penggunaan pupuk kimia, herbisida, pestisida dan mekanisasi pertanian terutama di daerah sentra produksi padi. Para petani berlomba untuk menghasilkan padi terbaik di Jepang. Para petani masih banyak menggunakan hewan ternak untuk membajak yang tak lama kemudian tergantikan oleh mesin. 

Sebagai negara kapitalis, perekonomian Jepang melesat seiring keberhasilan industrinya, dan hal ini juga menumbuhkan sektor pertanian sesuai kebutuhan pasar. Komersialisasi sektor pertumbuhan naik dari 56% (Tahun 1950) menjadi 64% (Tahun 1955). Petani pangan khususnya beras menjadi penghasil income utama hingga 44% dari total pertanian llalu diikuti oleh peternakan sebesar 12%. Lebih dari 70% agricullture cooperative (kelompok petani komersiil) bergerak di bisnis beras dan sereal sesuai sistem kontorl pangan saat itu. Para petani banayk mengeluarkan ongkos produksinya untuk pembelian pupuk kimia, herbisida dan pestisida sehingga banyak perusahaan besar yang bekerjasama dengan agriculture cooperative dalam bisnis tersebut. 

Tahun 1955, Agriculture cooperative menangani bisnis pupuk sebesar 66%, herbisida dan pestisida 66%, dan pakan ternak sebesar 30%. Dari data tersebut, terlihat peran agriculture cooperative sangat dominan dalam membangu distribusi logistik kebutuhan petani. 

Di era ini, Jepaang melakukan recovery ekonomi yang cukup cepat. Keputusan untuk menjadi negara industri mullai terlihat berhasil dengan berkembang pesatnya industri alat berat dan produk kimia, mulai terjadi pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Hal ini ditandai dengan petani gurem (<0,5 ha) jumlahnya turun drastis karena berkurangnya jumlah keluarga petani. Pada saat yang bersamaan, pertanian dengan > 0,5 ha meningkat tinggi. Perubahan strata petani mulai terjadi, dengan kepemilikan atau pengelolaan diatas 1 ha, pekerja pertanian (full petani) cukup bisa diandalkan, apalagi ditunjang kebijakan pemerintah dengan menurunkan pajak dan meningkatkan produksi (pemupukan, infrastruktur dan mekanisasi). 

Pada tahun 1953, Jepang tidak bisa mengelak dari kebijakan USA yang sedang surplus gandum dan jagung, sebagai eksporter terbesar dunia, USA pun mengimpor ke Jepang. Harga gandum dan jagung dari USA lebih rendah daripada harga produk domestik Jepang, sehingga kondisi dalam negeri mengalamai tekanan. Apalagi, USA menggunakan strategi surpllus pangan tersebut dengan bahasa program bantuan pangan (food aid), yang memungkinkan setiap negara meski tidak memilki dollar Amerika, untuk bisa menjual kelebihan gandum dari USA ini. 

Amerika memberikan hutang lunak (loan) kepada pemerintah yang membeli gandum dan jagungnya sebagai bentuk bantuan pangan dan ekonomi domestik negara tersebut. Di Jepang, pinjaman ini digunakan untuk program makan siang di sekolah. Selama tahun 1954-1956, Jepang menerima bantuan sebesar 800.000 ton pangan, yang hasil penjualan domestiknya digunakan untuk membangun sumber daya listrik dan sistem irigasi. 

Pada masa 1950-1953 inilah menjadi pondasi penting bagi Jepang setelah masa perang dalam recovery ekonominya dan melakukan transformasi ekonomi yang cukup cepat dari pertanian menuju industri manufaktur. 

Sumber Bacaan:

Agriculture in The Modernization of Japan (1850-2000). Edited by Shuzo Teruoka