Oleh: Tri Wahyu Cahyono
The Economist Group telah merilis ranking negara berdasarkan Global Food Security Index (GFSI). Pada tahun 2020 (era mulai pandemi), secara keseluruhan penilaian, Indonesia mengalamai sedikit penurunan skor, dari 60,9 tahun 2019 menjadi 59,5 di tahun 2020. Indonesia pada urutan ke-65 dunia dari sekitar 120 negara. Bila dijabarkan urutan negara dari 4 komponen penilaian ketahanan pangan, posisi Indonesia yaitu:
1. Affordability (keterjangkauan), berada di urutan ke-55 dengan skor 73,5;
2. Availability (ketersediaan), berada di urutan ke-34 dengan skor 64,7;
3. Quality and safety, berada di urutan ke-89 dengan skor 49,6; dan
4. Natural Resource and Resilience, berada di urutan ke-109 dengan skor 34,1.
Pandemi covid-19 sedikit banyak mempengaruhi penurunan ketahanan pangan di Indonesia, bisa dilihat dari gambar berikut bagaimana perkembangan ketahanan pangan di Indoesia.
![]() |
Gambar 1. Trend GFSI Indonesia, 2012-2020 |
![]() |
Gambar 2. Skor GFSI Indonesia, Tahun 2020 |
Di masa pandemi ini, ada beberap sektor yang masih tumbuh positif yaitu: pertanian, infokom, jasa keuangan, jasa pendidikan, jasa kesehatan, real estate dan pengadaan air. Meskipun ada yang peningkatannya tidak setinggi sebelum pandemi. Kondisi keuangan negara yang masih sakit, mengindikasikan untuk mencari pemasukan selain yang sudah ada. Utang negara yang semakin meningkat setiap tahun dan meroket dengan adanya pandemi ini, terasa semakin memberatkan pemerintah ketika harus jatuh tempo pembayaran utang. Beban utang bisa mencapai 40% dari APBN sehingga pastilah sangat memberatkan. Untuk itu, pemerintah mengajukan perubahan UU KUP, dan memasukkan sektor dengan pertumbuhan ekonomi positif agar dikenai pajak, termasuk pertanian dengan komoditas pokok atau sembako pun tak lepas dari incaran perpajakan.
Pajak Penambahan Nilai di Sektor Pertanian
Sasaran pajak ini adalah pengusaha kena pajak yang beromset 4,5 milyar rupiah per tahun. Bila dilihat rantai pasok pangan di Indonesia, maka siapapun pengusahanya yang bergerak di bidang perniagaan pertanian, semisal beras, (mulai pengepul, pengolah, pedagang tradisional dan modern), apabila mereka terhitung pengusaha kena pajak maka akan dikenai pajak tersebut. Konsekuensi dari pengenaan pajak ini akan semakin membebani para pengusaha sehingga mereka akan menaikkan harga jual produk. Otomatis, produsen (petani) dan konsumen akan terdampak karena pengusaha kena pajak menjadi faktor penentu harga beli dan jual sampai ke konsumen.
Dalam waktu jangka menengah, dengan tambahan beban dan harga produk pertanian akibat terkena pajak ini, maka kalangan menengah akan turun jumlahnya dan mereka memilih konsumsi dengan kemampuan dan efisiensi pengeluaran rumah tangga. Kualita konsumsi kelas menengah akan menurun. Sedangkan kalangan miskin juga akan terdampak dengan kenaikan harga disebabkan banyaknya permintaan konsumsi beras non premium, pengusaha akan menaikkan harganya. Hukum supply-demand, dengan meingkatnya permintaan konsumi maka akan meingkatkan harga produk.
Pengusaha yang menghasilkan kelas premium menghadapi dilema, karena pasar dalam negerinya menurun, untuk bersaing ekpspor pun ditentukan oleh harga jual dan biaya produksi. Peningkatan pajak, akan membebani kepada biaya produksi. Disinilah dilemanya, kemungkinan daya saing pun menurun. Bagi pemerintah, setidaknya ada sumber pemasukan kas negara yang bertambah. Dan, tentu saja bisa memberikan insentif tambahan kepada masayarakat termasuk petani dan pengusaha. Menarik pajak bagi kebutuhan khalayak ramai (hajat hidup orang banyak) menjadi dilema dan tambahan beban, beda halnya jika kondisi rakyat serba kecukupan dan makmur, maka penambahan iuran oleh negara karena dibutuhkan, seolah menjadi sedekah mereka.
Setidaknya, dari simulasi sederhana tersebut, peningkatan pajak akan menguntungkan pemerintah dan sedikit menekan konsumsi kalangan menengah karena harga pangan premium meningkat. Daya beli sebagian masayarkat akan turun dan akses pasar semakin rendah. Nilai GFSI keterjangkauan akan semakin rendah.
Alternatif Solusi Peningkatan Ketahanan Pangan
Berdasarkan data GFSI diatas, maka untuk meningkatkan keterjangkauan dengan cara meningkatkan akses pasar. Peningkatan daya beli rakyat miskin bisa dilakukan dengan bantuan langsung tunai (tunjangan hidup) agar mereka bisa bertahan hidup dan mampu bekerja. Penduduk dengan profesi petani/buruh, diberi kesempatan untuk memilki tanah dan diberikan modal untuk bertani di lahan-lahan yang dikuasai pemerintah di luar Jawa, dengan catatan tanah tersebut tidak boleh dijual. Pemerintah mengambil tanah-tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya selama bertahun-tahun, tanpa diusahakan apapun dan mendistribusikannya kepada rakyat miskin agar dijadikan lahan pertanian. Dalam waktu 1-2 tahun, pemerintah dan perbankan mempermudah akses permodalan dalam menghidupkan tanah terbengkalai tersebut. Setelah para petani tersebut mampu menghidupakan tanah dan menjadikannya produktif selama 2 tahun, pemerintah baru akan memberlakukan pajak hasil produksi dan pajak tanah.
Untuk meningkatkan availability, sangat erat hubungannya dengan trasnportasi dan infrstruktur pertanian. Orientasi infratsruktur pemerintah perlu difokuskan untuk pelayana rakyat seperti jalan umum hingga merambah ke sawah-sawah. Pembangunan tempat penyediaan air untu rumah juga terintegrasi untuk sawah, sehingga setiap rakyat bisa mendapatkan pelayanan yang sama baik untuk hidup dan untuk bertani. Peningkatan biaya penelitian dan adopsi teknologi agar petani mudah menerapkan teknologi kekinian yang berfungsi mempermudah dan efisien. Dan yang paling berat, menstabilkan kehidupan politik dan sosial. Kondisi politik suatu bangsa sangat mempengaruhi ketahanan pangan, karena kebijakan yang dihasilkan bisa kontraproduktif dengan tujuan ketahanan pangan. Selain itu, tingginya tingkat korupsi juga membuat kehidupan sosial tak stabil, rakyat mulai kurang percaya kepada pemerintahnya sehingga berbuah ketidakteraturan sosial di masyarakat.
Untuk meningkatkan kualitas dan keamanan pangan, perlu memasukkan kurikulum dan gerakan massal kampanye hidup dan makan sehat sedini mungkin. Peningkatan kemakmuran rakyat akan meninggikan pola pangan sehatnya karena bisa membeli makanan yang relatif lebih mahal namun sehat. Kebanyakan pangan kurang berniali gizi dan kurang sehat, karena menekan harga atau keterbatasan biaya produksi. Bagi rakyat miskin (dengan kemampuan beli minim), yang penting kenyang dulu, baru berpikir pangan sehat. Bagi rakyat miskin, pemerintah harus menyediakan atau mendukung semua komponen bangsa untuk terlibat dalam bantuan pangan sehat. Perubahan konsumsi harus dimulai dari perubahan pemahaman tentang makanan sehat. Lalu, pemerintah mengatur mana saja makanan yang boleh beredar dan mana yang tidak dengan standar halal dan baik (sehat).
Terakhir, sumber daya alam perlu dikelola secara bijak, jangan hanya karena berharap ekonomi tinggi lalu mengeksploitasi habis-habisan. Perlu adanya perubahan paradigma pembangunan, bukan lagi berorientasi kepada pertumbuhan semata tetapi keberlanjutan dan berkesinambungan. Telah nyata kerusakan di bumi, air dan udara karena ulah tangan manusia.
Tri Wahyu Cahyono,
PhD Student
Food Economics Laboratory
Graduate School of Bioagricultural Sciences
Nagoya University
Chikusa, Nagoya, Japan
0 comments:
Posting Komentar