Oleh: Tri Wahyu Cahyono
Jepang, pada tahun 1950-1970, mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat (rapid economic growth era). Sepanjang 20 tahunan tersebut terjadi beberapa peristiwa besar politik yang sangat berpengaruh dalam perekonomian Jepang. Pada tahun 1950-1953, terjadi peningkatan perang dingin yang ditandai dengan Perang Korea. Pada masa ini, kebijakan ekonomi Jepang terpusat pada kemandirian (self-reliance). Jepang merubah strategi ekonominya dari strategi sebelum perang menjadi pasca perang, dari industri tekstil menjadi industri berat seperti mesin dan produk kimia. Langkah ini mengubah Jepang menjadi salah satu negara industri di dunia.
![]() |
Sumber gambar: wikipedia.org |
Masa post-war ini cukup penting karena memberikan pondasi bangsa yang kuat dalam kemandirian. Perubahan titik berat industri menuju industri berat (teknologi) dan kimia memberikan harapan ekonomi yang cukup menjanjikan dan melangkah ke negara dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi. Pada tahun 1955-1965, Jepang mampu menjadi negara industri berat dan kimia dengan ekonomi yang tinggi. Jepang mampu menlampui pertumbuhan ekonomi 2-3 kali pertumbuhan negara-negara industri Barat seperti USA, UK, Jerman, Perancis dan Itali.
Pada tahun 1965-1970an, pertumbuhan ekonomi Jepang terganggu dengan perubahan ekonomi dunia, dengan adanya krisis minyak bumi dan perubahan sistem mata uang dunia (berakhirnya Bretton Woods System). Produk hasil industri berat dan kimia Jepang sangat unggul di duni sehingga Jepang menikmati keuntungan dari industri ini. Di lain pihak, sektor pertanian tertekan sehingga Jepang menjadi negara improtir produk pertanian USA. Periode ini, di Jepang mengalamai penurunan swasembada pangan dan produk pertanian.
Fenomena pertumbuhan sangat cepat di Jepang pada saat itu, menyebabkan impor pertanian meningkat dan swamsembada pangan menurun. Pada saat yang bersamaan, target untuk meningkatkan produksi pertanian dan swasembada menjadi kurang penting lagi dalam kebijakan pertanian. Untuk itu, di era awal pasca perang, Jepang menghadapai kondisi untuk mempercepat transformasi ekonomi.
Upaya untuk meningkatkan produksi dan swasembada pangan menjadi dasar pijakan penting dalam periode berikutnya ketika menjadi negara industri berat dan kimia. Jepang mengalami kelemahan dalam pertukaran mata uang asing. Imbasnya, impor sektor pertanian meningkat. Harga produk pertanian masih rendah dan tetap dijaga agar bisa rendah agar seimbang dengan upah/gaji yang masih rendah, agar daya beli rakyat tetap tinggi. Pemerintah Jepang tetap memberikan subsidi yang tinggi terhadap disparitas harga impor dan produk nasionalnya. Meskipun produk pertanian meningkat namun belum mencukupi persediaan dalam negeri. Di satu sisi, di perdesaan Jepang masih cukup bahakn surplus populasi penduduknya, yang mayoritas sebagai keluarga petani. Pemerintah mengeluarkan "Five year Plan to Increase Food Production (1953-1957)" yang diterbitkan tahun 1952. Berdasarkan dokumen tersebut ditargetkan peningkatkan produksi padi dan gandum 2,7 juta ton dan mengurangi impor pangan sebesar 0,83 juta ton selama lima tahun.
Selain peningkatan produksi padi dan gandum, Jepang juga mentargetkan peningkatan produksi ternaknya. Melalui "Dairy Farming Promotion Law" tahun 1954, tarif impor bahan pakan ternak menjadi salah satu yang diatur dalam impor bahan baku untuk industri pakan. Bersamaan dengan liberalisasi perdagangan, Jepang memberlakukan tariff-free gandum dari USA untuk pabrik pakan.
Keringanan Pajak dan Kenaikan Harga Produk Pertanian
Pada tahun 1947-1949, petani diwajibkan membayar pajak pendapatan sebesar 15-19% dari hasil pertaniannya, namun kemudian dikurangi menjadi 9-10% pada tahun 1950-1953. Kebijakan tersebut sebagai salah satu dukungan pemerintah untuk meningkatkan produksi dan pemberian insentif bagi petani. Pasca perang, petani mulai menjual produknya ke pasar terbuka untuk produk kacang-kacangan, kentang, dan gandum, yang semula dipatok oleh pemerintah. Namun demikian, pemerintah masih memberlakukan kontrol penuh terhadap komoditas pangan pokok seperti beras, sehingga pemerintah harus menganggarkan lebih untuk mengatur harga besar di pasar. Pada tahun 1950-1954, rasio harga beras terhadap ongkos produksi, petani masih menerima 170%. Bahkan pada tahun 1955, rasio harga yang diterima petani bisa mencapai 211% dari ongkos produksinya.
Selain beras, pemerintah juga melakukan kontrol harga terhadap makanan pokok sereal. Pada masa tersebut, produk sereal lokal mengalami penurunan karena US sebagai eksporter terbesar dunia mengaami surplus cukup besar, dan menjadikan program makan sereal sebagai kampanye hidup sehat seluruh dunia termasuk di Jepang, sehingga banyak bantuan pangan berupa sereal yang masuk dari Amerika. Pada tahun 1953, diterbitkanlah The Agricultural Products Price Stabilization Law, guna menjami dan melindungi harga produk dalam negeri terutama untuk pangan pokok seperti beras, sereal, kentang dan kedelai (ditambahkan pada tahun 1956).
Salah satu bentuk kebijakan pemerintah di masa pasca peran ini adalah dengan meningkatkan produksi pertanian dan perlindungan petani dengan pengurangan pajak pertanian. Selain itu juga dengan meningkatkan harga produk pertanian, perbaikan lahan pertanian dan peningkatan pelayanan pertanian.
Sebagai negara industri, Jepang mendukung penuh peningkatan produk pertanian dengan penggunaan pupuk kimia, herbisida, pestisida dan mekanisasi pertanian terutama di daerah sentra produksi padi. Para petani berlomba untuk menghasilkan padi terbaik di Jepang. Para petani masih banyak menggunakan hewan ternak untuk membajak yang tak lama kemudian tergantikan oleh mesin.
Sebagai negara kapitalis, perekonomian Jepang melesat seiring keberhasilan industrinya, dan hal ini juga menumbuhkan sektor pertanian sesuai kebutuhan pasar. Komersialisasi sektor pertumbuhan naik dari 56% (Tahun 1950) menjadi 64% (Tahun 1955). Petani pangan khususnya beras menjadi penghasil income utama hingga 44% dari total pertanian llalu diikuti oleh peternakan sebesar 12%. Lebih dari 70% agricullture cooperative (kelompok petani komersiil) bergerak di bisnis beras dan sereal sesuai sistem kontorl pangan saat itu. Para petani banayk mengeluarkan ongkos produksinya untuk pembelian pupuk kimia, herbisida dan pestisida sehingga banyak perusahaan besar yang bekerjasama dengan agriculture cooperative dalam bisnis tersebut.
Tahun 1955, Agriculture cooperative menangani bisnis pupuk sebesar 66%, herbisida dan pestisida 66%, dan pakan ternak sebesar 30%. Dari data tersebut, terlihat peran agriculture cooperative sangat dominan dalam membangu distribusi logistik kebutuhan petani.
Di era ini, Jepaang melakukan recovery ekonomi yang cukup cepat. Keputusan untuk menjadi negara industri mullai terlihat berhasil dengan berkembang pesatnya industri alat berat dan produk kimia, mulai terjadi pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Hal ini ditandai dengan petani gurem (<0,5 ha) jumlahnya turun drastis karena berkurangnya jumlah keluarga petani. Pada saat yang bersamaan, pertanian dengan > 0,5 ha meningkat tinggi. Perubahan strata petani mulai terjadi, dengan kepemilikan atau pengelolaan diatas 1 ha, pekerja pertanian (full petani) cukup bisa diandalkan, apalagi ditunjang kebijakan pemerintah dengan menurunkan pajak dan meningkatkan produksi (pemupukan, infrastruktur dan mekanisasi).
Pada tahun 1953, Jepang tidak bisa mengelak dari kebijakan USA yang sedang surplus gandum dan jagung, sebagai eksporter terbesar dunia, USA pun mengimpor ke Jepang. Harga gandum dan jagung dari USA lebih rendah daripada harga produk domestik Jepang, sehingga kondisi dalam negeri mengalamai tekanan. Apalagi, USA menggunakan strategi surpllus pangan tersebut dengan bahasa program bantuan pangan (food aid), yang memungkinkan setiap negara meski tidak memilki dollar Amerika, untuk bisa menjual kelebihan gandum dari USA ini.
Amerika memberikan hutang lunak (loan) kepada pemerintah yang membeli gandum dan jagungnya sebagai bentuk bantuan pangan dan ekonomi domestik negara tersebut. Di Jepang, pinjaman ini digunakan untuk program makan siang di sekolah. Selama tahun 1954-1956, Jepang menerima bantuan sebesar 800.000 ton pangan, yang hasil penjualan domestiknya digunakan untuk membangun sumber daya listrik dan sistem irigasi.
Pada masa 1950-1953 inilah menjadi pondasi penting bagi Jepang setelah masa perang dalam recovery ekonominya dan melakukan transformasi ekonomi yang cukup cepat dari pertanian menuju industri manufaktur.
Sumber Bacaan:
Agriculture in The Modernization of Japan (1850-2000). Edited by Shuzo Teruoka
0 comments:
Posting Komentar