Invasi Rusia ke Ukraina membuat globalisasi sedikit bergeser arah. Sangsi ekonomi yang dilakukan USA, Eropa (dunia barat) dan sekutunya terhadap Rusia berimbas kepada inflasi di banyak negara. Rusia tiba-tiba dibatasi oleh dunia barat untuk akses modal baik uang, barang dan jasa. Di satu sisi, kemampuan Rusia untuk bertahan baik energi, pangan dan keamanan mendorong perubahan politik kekuasaan permodalan.
Rusia pun melakukan perlawanan di dunia global dengan menggandeng mitra politik dan ekonominya seperti RRC untuk membuat arus baru. Eropa melakukan pelarangan transaksi ekonomi dengan menarik semua perusahaan yang beroperasi di Rusia. Eropa juga memberikan sangsi pengeluaran Rusia dalam sistem keuangan dunia. Maka, Rusia yang selama ini menjadi pemasok energi dan pangan menahan pasokannya tidak dijual murah kepada Eropa. Hal ini berdampak kepada inflasi global, karena Amerika yang mencoba menggantikan pasar yang ditinggalkan Rusia, menjual dengan harga lebih tinggi.
|
sumber: trofire.com |
Globalisasi yang dipimpin oleh perusahan dan negara kapitalis mengeluarkan Rusia dari pasar modal sehingga Rusia kesulitan akses dalam perdagangan internasional. Kondisi ini menunjukkan pada dunia bahwa globalisasi sejatinya alat kapitalisme dalam mengusasi suatu daerah dengan cara ekonomi. Sebanyak 400 perusahaan meninggalkan Rusia. Keputusan ini bukan karena disebabkan sangsi oleh sebuah negara tertentu, namun keputusan kapitalisme global (penguasa modal), yang melihat situasi di Rusia tidak kondusif untuk berbisnis dan melakukan transaksi lagi.Pola pasok pangan dan energi dunia pun berubah dengan keputusan Rusia menginvasi Ukraina. Ketergantungan beberapa negara dalam masalah energi dan pangan kepada Rusia, akhirnya mengubah tatanan pasokan dunia untuk mencari daerah atau negara lain sebagai penggantinya, imbas yang paling dirasakan inflasi di negara-negara Eropa yang menjalar ke negara lain termasuk di Asia.
Pembelajaran dari Konflik Rusia-Ukraina
Selama ini, beberapa dekade dunia kapitalisme dengan runtuhnya Uni Soviet, seolah telah berhasil memimpin dunia dengan konsep ekonomi terbuka (free trade) dan globalisasinya. Dengan penguasaan modal yang besar, para pemilik modal dengan bebas menguasai sumber-sumber ekonomi di belahan bumi manapun tanpa halangan berarti. Seolah, semua negara sangat tergantung dengan keberadaan pemilik modal dalam mengeksploitasi sumber daya dalam dan sumber daya manusianya. Ketika terjadi konflik dan ada negara yang melawan terhadap kepentingan kapitalisme ini, maka serta merta para pemilik modal meinggalkan negara tersebut dengan menarik semua modalnya. Namun demikian, belajar dari Rusia dan Ukraina, kedaulatan dan ketahanan sebuah negara ditentukan bukan hanya oleh banyaknya modal uang yang masuk, namun bagaimana sebuah negara mampu secara mandiri mengelola sumber dayanya, terutama dalam masalah energi dan pangan.
Rusia cukup berani menerima sangsi dan pelarangan dari pasar modal dan tidak takut kehilangan akses modal, karena Rusia merasa cukup mampu untuk bertahan dengan katahanan energi dan pangannya. Bahkan, Rusia bermanufer dengan menggandeng negara-negara lain dalam melakukan perlawanan penguasaan modal oleh pihak tertentu dalam dunia globalisasi. Seirama dengan Rusia, RRC mulai melirik dan menawarkan mata uangnya untuk menggantikan dollar Amerika di beberapa sektor keuangan.
Jepang, sebagai negara kapitalis dari timur, juga terkena imbas dari konflik Rusia-Ukraina. Keputusan para pemilik modal untuk meninggalkan pasar Rusia, menyebabkan banyak kerugian dari perusahaan Jepang. Mata uang Yen mengalami penurunan cukup tajam terhadap dollar. namun demikian, banyak pengamat politik dan ekonomi masih optimis Jepang bisa keluar dari keterpurukan ini karena kuatnya neraca perdagangan dalam negeri yang ditopang oleh perbankan dan konsumen penduduk Jepang. Perdana Menteri Kishida sudah mengumumkan konsep "new capitalism" nya, yang mendorong perusahaan Jepang untuk fokus kepada seluruh stakeholdernya.
Bagaimana dengan negara berkembang seperti Indonesia?
Negara berkembang seperi Indonesia, memiliki peluang besar dengan adanya perubahan peta globalisasi ini. Dilihat dari potensi ketahanan energi dan pangan, Indonesia cukup memiliki modal kuat sumber daya alam di wilayahnya yang bisa menghasilkan energi dan pangan yang melimpah. Bila para pemodal kapitalis meninggalkan Indonesia layaknya mereka meninggalkan Rusia, maka rakyat Indonesia akan menikmati berlimpahnya tanah, air, udara dan yang dikandungnya untuk dikelola secara mandiri demi ketahanan bangsa. Orientasi produksi untuk perdagangan luar negeri akan sedikit digeser lebih dulu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kasus seperti minyak goreng akan sulit terjadi karena prioritas dari produsen adalah memenuhi kebutuhan dalam negeri daripada mengambil keuntungan di pasar luar negeri, yang menyebabkan kelangkaan pasokan di dalam negeri. Dinamika perubahan arah globalisasi dengan munculnya kembali nasionalisme yang tinggi, perlu disikapi dan disiapkan dengan bijak dalam menyusun arah pembangunan. Setidaknya, negara berkembang bisa tampil menjadi pemimpin perubahan dunia global.
Tri Wahyu Cahyono,
PhD Student
Food Economics Laboratory
Graduate School of Bioagricultural Sciences
Nagoya University
Chikusa, Nagoya, Japan