Kamis, 01 Desember 2022

Jepang Mengurangi Ketergantungan Suplainya dari China

 Seperti dilaporkan Nikkei Asia (01/12/2022), lebih dari setengah perusahaan manufaktur Jepang berencana untuk mengurangi ketergantungan pasokannya dari China. Hal ini disebabkan kondisi politik ekonomi dan bersitegangnya hubungan Amerika dan China yang semakin memanas. Nikkei melakukan survei kepada perusahaan manufaktur Jepang pada pertengahan November dan hasilnya, 78% perusahaan mengatakan resiko permintaan ke China terkait bahan manufaktur semakin tinggi, dan 53% perusahaan berencana mengurangi ketergantungan pasokannya dari China.

Kebijakan China dengan penerapan zero-Covid dan melockdown kota menjadi pertimbangan juga bagi produsen Jepang untuk segera mencari allternatif produksi penyuplai manufaktur di Jepang. Sebagai alternatifnya, 76% perusahaan melirik Thailand sebagai tempat penyuplainya dan negara Asia Tenggara lainnya. Selain itu, dengan melemahnya nilai tukar Yen, alternatif untuk memindahkan tempat produksi ke dalam negeri juga menjadi pilihan bagi perusahaan untuk menjaga stabilitas nilai upah atau gaji di dalam negeri. 

Jepang sebagai salah satu negara industri memang menjadikan China sebagai mitra dagang yang saling menguntungkan karena murahnya bahan pasok untuk industrinya. Namun, dengan panasnya politik global atau perang dagang antara Amerika dan China serta bisa merembet kapada rebutan pengaruh politik seperti yang terjadi di Rusia-Ukraina, apalagi ke konflik Taiwan. Maka, Jepang segera membuat exit plan untuk mencari alternatif tempat lain penyuplai bahan manufaktur sebagai pengganti China.


Kamis, 17 November 2022

Krisis Pangan 2023?

 Kekhawatiran krisis pangan semakin besar di Tahun 2023 dikarenakan tiga hal, yaitu pandemik yang masih berlangsung, perubahan iklim dan perang. Krisis pangan bisa diartikan sebagai kondisi kelangkaan pangan di suatu wilayah disebabkan kesulitan distribusi, dampak perubahan iklim, bencana alam, dan konflik sosial termasuk perang. 


Pandemik covid19 membuat pola hidup baru dengan berkurangnya pergerakan manusia dan beralih kepada teknologi informasi dan komunikasi. Pola interaksi manusia berubah dengan lebih sering bertemu secara online, karenanya aktivitas manusia dalam industri yang banyak meruska lingkungan pun sedikit berkurang, dan lahan pertanian berproduksi lebih tinggi. 

Dampak perubahan iklim pun sudah terjadi sejak maraknya industrialisasi dengan banyak merusak lingkungan seperti hutan, laut, tanah, sungai, tambang, dan lainnya. Untuk memulihkan kerusakan lingkungan tersebut membutuhkan ratusan bahkan ribuan tahun. Aksi yang dipilih oleh kalangan industri atau negara industri dengan tetap mempertahankan kecepatan produksinya, namun mulai beradaptasi dengan dampak kerusakan dan memulai aksi mitigasinya. Salah satu kegiatan pertanian atau peternakan yang menyumbang gas metan adalah produksi peternakan yang banyak menghasilkan kotoran ternak. Ada tuntutan untuk mengerem laju produksi peternakan dan sebagai substitusi daging ternak telah berhasil dibuat daging buatan dari laboratorium dengan rasa tak kalah dengan aslinya. Singapura menjadi salah satu tempat industri yang siap memasarkan produk tersebut secara masif.

Krisis pangan akibat perang jelas sekali terasa sejak Rusia menyerang Ukraina. Rantai pasok pangan terganggu karena Rusia dan Ukraina merupakan pengekspor besar dunia di komoditas ganduma, jagung dan minyak goreng dari bunga matahari. Krisis pangan sedang dan telah terjadi di sebagian belahan bumi tiap tahun disebbabkan beberap kondisi tersebut.

Berdasarkan laporan FAO, pada tahun 2021 terjadi kelaparan hingga 828 juta orang. Setelah relatif tidak berubah tiap tahunnya sejak 2015, proporsi orang yang terkena dampak kelaparan melonjak pada tahun 2020 dan 2021 menjadi 9,8% dari populasi dunia. Selain itu, pada tahun 2021 juga terjadi kerawanan pangan sedang atau parah sekitar 2,3 miliar orang atau 29,3% populasi dunia. Hampir 3,1 miliar orang tidak mampu membeli makanan sehat akibat efek inflasi di tahun 2020. Diperkirakan 45 juta balita menderita wasting (berat badan dibawah rata-rata) dan 149 juta balita mengalami stunting (pertumbuhan terhambat/kerdil) karena kekurangan nutrisi penting dalam makanannya. Sementara itu, ada 39 juta orang kelebihan berat badan. 

Ketika banyak orang tidak mampu mengakses makanan sehingga membuat kelaparan dan rawan pangan. Disisi lain, loss dan waste  makanan mengalami peningkatan. Sepertiga produksi pangan dunia untuk konsumsi manusia terbuang rata-rata 1,3 miliar ton. Bila diuangkan 680 miliar dollar dari negara industri dan 310 miliar dollar dari negara berkembang. 

Melihat sistem pangan dunia yang sedanga mengalami tekanan akibat pandemik, perubahan iklim dan dampak perang maka banyak negara yang menerapkan pemnatasan ekspor untuk melindungi dan menguatkan ketahanan pangan dalam negerinya. Sektor pertanian terkena dampaknya akibat pelarangan ekspor bahan baku pupuk dari Rusia dan Belarusia. China juga melakukan pembatasan ekspor bahan pupuk ke luar negeri, sehingga Indonesia sebagai importir bahan pupuk akan terkena dampak kenaikan hatga pupup yang otomatis akan meniakkan biaya produksi pertanian, dan ujung-ujungnya harga pangan mengalami inflasi.

Krisis pangan sebenarnya sudah terjadi setiap tahun di daerah-daerah miskin disebagian belahan bumi, dan diprediksi akan semakin parah di tahun 2023 karena terhambatnya suplai dari negara yang sedang perang dan negara-negara industri akan mengamankan negaranya dengan penimbunan dan meraup keuntungan ke negara lain yang populasinya tinggi. Indikasi kelangkaan pangan hingga krisis biasanya terjadi inflasi yang cukup tinggi dan cepat. 


Daftar Bacaan:

Food nationalism: Export curbs hit nearly a fifth of global market - Nikkei Asia

Rising food and energy prices threaten Indonesia's political stability - Nikkei Asia

Harvests fall in Asia and Africa as fertilizer prices soar on Ukraine war - Nikkei Asia

Krisis Pangan dan Tantangan Masa Depan - Greenpeace Indonesia

UN Report: Global hunger numbers rose to as many as 828 million in 2021 (fao.org)

Rabu, 13 April 2022

Dunia Kapitalisme Melemah Seiring Konflik Rusia-Ukraina?

 Invasi Rusia ke Ukraina membuat globalisasi sedikit bergeser arah. Sangsi ekonomi yang dilakukan USA, Eropa (dunia barat) dan sekutunya terhadap Rusia berimbas kepada inflasi di banyak negara. Rusia tiba-tiba dibatasi oleh dunia barat untuk akses modal baik uang, barang dan jasa. Di satu sisi, kemampuan Rusia untuk bertahan baik energi, pangan dan keamanan mendorong perubahan politik kekuasaan permodalan. 

Rusia pun melakukan perlawanan di dunia global dengan menggandeng mitra politik dan ekonominya seperti RRC untuk membuat arus baru. Eropa melakukan pelarangan transaksi ekonomi dengan menarik semua perusahaan yang beroperasi di Rusia. Eropa juga memberikan sangsi pengeluaran Rusia dalam sistem keuangan dunia. Maka, Rusia yang selama ini menjadi pemasok energi dan pangan menahan pasokannya tidak dijual murah kepada Eropa. Hal ini  berdampak kepada inflasi global, karena Amerika yang mencoba menggantikan pasar yang ditinggalkan Rusia, menjual dengan harga lebih tinggi. 

sumber: trofire.com
Globalisasi yang dipimpin oleh perusahan dan negara kapitalis mengeluarkan Rusia dari pasar modal sehingga Rusia kesulitan akses dalam perdagangan internasional. Kondisi ini menunjukkan pada dunia bahwa globalisasi sejatinya alat kapitalisme dalam mengusasi suatu daerah dengan cara ekonomi. Sebanyak 400 perusahaan meninggalkan Rusia. Keputusan ini bukan karena disebabkan sangsi oleh sebuah negara tertentu, namun keputusan kapitalisme global (penguasa modal), yang melihat situasi di Rusia tidak kondusif untuk berbisnis dan melakukan transaksi lagi.

Pola pasok pangan dan energi dunia pun berubah dengan keputusan Rusia menginvasi Ukraina. Ketergantungan beberapa negara dalam masalah energi dan pangan kepada Rusia, akhirnya mengubah tatanan pasokan dunia untuk mencari daerah atau negara lain sebagai penggantinya, imbas yang paling dirasakan inflasi di negara-negara Eropa yang menjalar ke negara lain termasuk di Asia.

Pembelajaran dari Konflik Rusia-Ukraina

Selama ini, beberapa dekade dunia kapitalisme dengan runtuhnya Uni Soviet, seolah telah berhasil memimpin dunia dengan konsep ekonomi terbuka (free trade) dan globalisasinya. Dengan penguasaan modal yang besar, para pemilik modal dengan bebas menguasai sumber-sumber ekonomi di belahan bumi manapun tanpa halangan berarti. Seolah, semua negara sangat tergantung dengan keberadaan pemilik modal dalam mengeksploitasi sumber daya dalam dan sumber daya manusianya. Ketika terjadi konflik dan ada negara yang melawan terhadap kepentingan kapitalisme ini, maka serta merta para pemilik modal meinggalkan negara tersebut dengan menarik semua modalnya. Namun demikian, belajar dari Rusia dan Ukraina, kedaulatan dan ketahanan sebuah negara ditentukan bukan hanya oleh banyaknya modal uang yang masuk, namun bagaimana sebuah negara mampu secara mandiri mengelola sumber dayanya, terutama dalam masalah energi dan pangan. 

Rusia cukup berani menerima sangsi dan pelarangan dari pasar modal dan tidak takut kehilangan akses modal, karena Rusia merasa cukup mampu untuk bertahan dengan katahanan energi dan pangannya. Bahkan, Rusia bermanufer dengan menggandeng negara-negara lain dalam melakukan perlawanan penguasaan modal oleh pihak tertentu dalam dunia globalisasi. Seirama dengan Rusia, RRC mulai melirik dan menawarkan mata uangnya untuk menggantikan dollar Amerika di beberapa sektor keuangan. 

Jepang, sebagai negara kapitalis dari timur, juga terkena imbas dari konflik Rusia-Ukraina. Keputusan para pemilik modal untuk meninggalkan pasar Rusia, menyebabkan banyak kerugian dari perusahaan Jepang. Mata uang Yen mengalami penurunan cukup tajam terhadap dollar. namun demikian, banyak pengamat politik dan ekonomi masih optimis Jepang bisa keluar dari keterpurukan ini karena kuatnya neraca perdagangan dalam negeri yang ditopang oleh perbankan dan konsumen penduduk Jepang. Perdana Menteri Kishida sudah mengumumkan konsep "new capitalism" nya, yang mendorong perusahaan Jepang untuk fokus kepada seluruh stakeholdernya. 

Bagaimana dengan negara berkembang seperti Indonesia?

Negara berkembang seperi Indonesia, memiliki peluang besar dengan adanya perubahan peta globalisasi ini. Dilihat dari potensi ketahanan energi dan pangan, Indonesia cukup memiliki modal kuat sumber daya alam di wilayahnya yang bisa menghasilkan energi dan pangan yang melimpah. Bila para pemodal kapitalis meninggalkan Indonesia layaknya mereka meninggalkan Rusia, maka rakyat Indonesia akan menikmati berlimpahnya tanah, air, udara dan yang dikandungnya untuk dikelola secara mandiri demi ketahanan bangsa.  Orientasi produksi untuk perdagangan luar negeri akan sedikit digeser lebih dulu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kasus seperti minyak goreng akan sulit terjadi karena prioritas dari produsen adalah memenuhi kebutuhan dalam negeri daripada mengambil keuntungan di pasar luar negeri, yang menyebabkan kelangkaan pasokan di dalam negeri. Dinamika perubahan arah globalisasi dengan munculnya kembali nasionalisme yang tinggi, perlu disikapi dan disiapkan dengan bijak dalam menyusun arah pembangunan. Setidaknya, negara berkembang bisa tampil menjadi pemimpin perubahan dunia global. 


Tri Wahyu Cahyono,
PhD Student
Food Economics Laboratory
Graduate School of Bioagricultural Sciences
Nagoya University
Chikusa, Nagoya,  Japan


Minggu, 20 Februari 2022

Ekonomi Thailand Bergerak di Tengah Pandemi

 Pulihnya ekonomi global terutama di Amerika dan Eropa mendorong kenaikan nilai ekspor Thailand. Berdasarkan NESDC (National Economic and Social Development Council), ekspor barang Thailand meningkat hingga 14,9% di tahun 2021 dibandingkan tahun sebelumnya.

Sumber: asia.nikkei.com

Pertumbuhan ekonomi si Thailand ini masih dibawah Singapura, Filipina, Indonesia dan Malaysia. Perekonomian Thailand sangat tergantung dengan sektor pariwisata. Thailand menerapkan strategi membuka wisatawan mancanegara untuk bisa ke Thailand dengan syarat yang sudah divaksin boleh tanpa karantina. Tentu saja, strategi tersebut menumbuhkan perekonomian di sektor wisata kembali. Namun demikian, dampak negatifnya adanya kemungkinan peningkatan kasus Covid omicron.

sumber: asia.nikkei.com


Ledakan kasus omicron ini menuntut Thailand untuk mengevaluasi dan menghentikan program bebas karantina bagi pelancong mancanegara meski sudah di vaksin. Meskipun dampak omicron tidak separah atau membahayakan varian covid lainnya, ledakan kasus ini membuat Thailand harus mengeram penyebarannya, sehingga produktivitas penduduk kembali mengalami penurunan.

Seperti negara Asia Tenggara lainnya, dilema penanganan covid ini menjadikan resiko penurunan ekonomi dengan adanya inflasi, hutang rumah tangga dan tidak stabilnya rantai pasok menjadi perhatian NESDC untuk terus mengevaluasi dan memonitor dampak dan penyebaran Covid19 ini. NESDC memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Thailand pada tahun 2022 bisa tumbuh di angka 3,5-4,5 % sebagaimana pernah terjadi di bulan November 2021.










Selasa, 15 Februari 2022

Konflik Rusia-Ukraina, Bersiaplah Inflasi Pangan

 Pandemi Covid19 juga belum usai, dunia kini dihadapkan pada potensi krisis baru bila perang Rusia-Ukraina terjadi. Konstelasi politik dunia mulai memanas akibat konflik Rusia-Ukraina yang menyeret pula kekuatan negara besar lainnya terlibat. USA pun tidak tinggal diam terhadap politik luar negeri Rusia yang menginginkan wilayah Ukraina. USA bersama NATO mulai menggalang kekuatan untuk "menghalau" Rusia dari usahanya mencaplok Ukraina. Disisi lain, Rusia pun sudah mengambil posisi yang jelas bersama RRC untuk mengimbangi kekuatan USA dan sekutunya. Terlepas, apakah nantinya akan ada perang fisik di Ukraina, maka kita bisa lihat posisi strategis dari dua negara tersebut dalam pangan dunia.

Assian.nikkei.com melansir bahwa Rusia dan Ukaraina merupakan produsen gandum pengekspor  besar di dunia. Rusia menjadi negara yang berkontribusi 10% produksi gandum atau 20% pengekpor dunia. Sementara Ukraina pengekspor lima besar dunia. Selain itu Ukraina menguasai pasar jagung hingga 10% serta mengendalikan sebagian besar minyak dari bunga matahari.

Pengaruh konflik Rusia-Ukraina ini langsung terasa kepada negara yang bergantung pasokan gandum dan jagungnya dari Rusia dan Ukraina. Diketahui, Timur Tengah dan Afrika Utara sangat tergantung pasokan gandum dari dua negara tersebut. Bahkan, Mesir membeli gandum dari Rusia hingga 60% dan 30% dari Ukraina. 

RRC yang juga dekat dengan Rusia secara politik, bisa terkena dampak dari konflik tersebut. Impor jagung RRC dari Ukraina mencapai 30% ekspor Ukraina sendiri. Peternakan babi di RRC akan langsung merasakan imbas dari konflik ini bila pasokan jagung mulai berkurang.

Konflik ini akan mempengaruhi ketahanan pangan dunia, khususnya pasar gandum dunia akan terganggu. Persediaan gandum dunia akan menyusut bahkan diprediksi ke level terendah, seiring penurunan luas tanam gandum yang berkurang di USA dan Kanda akibat musim kering. 

sumber: al jazeera

Pasar jagung dunia juga akan terpengaruh, bila RRC tidak mendapat pasokan dari Ukraina maka akan mencari produsen lainnya. Kemungkinan, Brasil sebagai pengekspor jagung tertinggi kedua mengalami penurunan produksi akibat musim kering yang terjadi. RRC akan melakukan peningkatan pengadaan jagung dari pengeskpor terbesar dunia yaitu USA. 

Dari dua komoditas strategis dunia tersebut, bisa dimungkinkan akan terjadi lonjakan harga pangan roti. Di Timur Tengah pernah terjadi kerusuhan yang dipicu dengan naiknya harga roti. Kerusuhan tersebut memunculkan gerakan Arab Spring hingga menumbangkan pemerintahan otoriter saat itu. 

Negara-negara berkembang seperti Indonesia yang juga pengimpor besar gandum dan jagung sebagai bahan baku roti dan pakan ternak, tentu saja juga terkena imbasnya. Keuangan rumah tangga akan semakin terpukul atau terbebani. Industri sektor pangan dan pertanian/peternakan akan terkena imbasnya bila selama ini tergantung kepada gandum dan jagung impor. 

Di sisi lain, dilema negara berkembang, keinginan mengambil peluang naiknya harga pangan dunia, untuk meningkatkan ekspornya seperti jagung sehingga bisa mengambil ceruk pasar yang ditinggalkan produsen besar dunia. Di dalam negerinya sendiri mengalami ketidakpastian pasokan dan berimabas kepada inflasi pangan yang cukup memprihatinkan karena bisa melahirkan orang/keluarga miskin baru.

Pandemi dan Perang akan menjadi ujian berat bagi ketahanan pangan suatu bangsa. Belajar dari era pandemi, semua bangsa terpukul secara ekonomi kecuali industri besar yang bisa memanfaatkan momen untuk memproduksi barang atau jasa yang dibutuhkan untuk hajat hidup orang banyak. Bila dengan adanya pandemi bisa menguntungkan industri kesehatan, apakah dengan adanya konflik perang akan menguntungkan industri persenjataan?.

Senin, 24 Januari 2022

Tantangan Ketahanan Pangan dengan Kebijakan Pemindahan Ibukota

sumber: researchgate

Regulai Pemindahan ibukota yang telah diajukan pemerintah dengan nama ibukota baru disebut "nusantara". Secara umum, Nusantara sudah dikenal sebagai nama lain dari wilayah Indonesia, kedepan akan dipakai menjadi nama kota sebagai tempat ibukota. Kota tersebut akan dikepalai oleh kepala otoritas yang ditunjuk langsung oleh Presiden.
Draf regulasi atau perundangan yang diajukan pemerintah berisikan persiapan, proses pembangunan dan relokasi ke ibukota baru selama 10 tahun. Dari konsep tersebut disebutkan juga bahwa kantor kedutaan besar negara asing dan kantor organisasi internasional juga diminta pindah ke kota baru. Target dari mulai pemindahan itu sendiri pertengahan tahun 2024, selaras dengan berakhirnya masa pemerintahan ini.
Pemerintah memperkirakan kebutuhan pembangunan kota baru ini membutuhkan sebesar 466 triliun rupiah atau $32.5 juta. Perhitungan tersebut dihitung sebelum terjadinya pandemi.
Namun demikian, keputusan ini mendapatkan beberapa protes dan peringatan baik dari kalangan masyarakat maupun para analisis ekonomi dan politik. Mengingat, kondisi bangsa Indonesia yang tengah menderita akibat pandemik covid19, sangat membutuhkan banyak anggaran untuk memulihkan ekonomi dan kesehatan, namun pemerintah dinilai sebagian politisi memprioritaskan pemindahan tersebut padahal masih bisa ditunda.
Dari hasil analisis peniliti dari INDEF bahwa dampak ekonomi terhadap pelaksanaan keputusan tersebut akan terjadi inflasi. 
Kondisi ketahanan pangan Indonesia yang turun selama masa pandemi (lihat di GFSI) dengan skor 59,2 atau ranking ke 69 di dunia, perlu dipikirkan antisipasi dan strategi penguatannya ketika ditambah dengan adanya tekanan ekonomi berupa inflasi. 
Variabel terlemah dari ketahanan pangan di Indonesia yaitu: quality and safety dan natural resources & resilience. Rapor merah di dua variabel tersebut menunjukkan ada penurunan dari sektor akses dan pengelolaan sumberdaya alam. Indonesia masih dianggap sangat minim memasukkan komitmen politik dalam adaptasi perubahan iklim atau terkait pencegahan kerusakan alam. Ditambah lagi dengan pembukaan lahan hutan untuk kota baru, tentu saja ini akan menambah konversi lahan hutan dan pertanian menjadi pemukiman dan industri.
Disis akses dan konsumsi, rapor merah terletak pada pola konsumsi sehat dan masih banyak yang kekurangan gizi terutama nutrisi mikro yang menyebabkan stunting, kurus dan rawan pangan. Selain itu, kualitas protein dari asupan rata-rata penduduk Indonesia masih dianggap kurang berkualitas.  Akses pangan akan meningkat dengan tingginya daya beli sehingga mampu untuk meningkatkan kualitas pangannya.
Wajar saja, bila ada ekonom yang menilai kebijakan pemindahan ibukota beresiko dengan penurunan ketahanan pangan dalam waktu pendek, karena pendapatan negara digunakan untuk proyek besar tersebut yang kurang dinikmati secara langsung bagi mayoritas penduduk dalam jangka pendek.
Relokasi ibukota ini membuka peluang untuk mendata kembali lahan-lahan terbengkalai dan besarnya kepenguasaan lahan secara luas oleh segelintir pengusaha. Salah satu penguatan ketahanan pangan ini bisa dilakukan dengan reformasi agraria pembagian lahan tersebut (yang secara luas dikuasai perusahaan) kepada rakyat yang mau bertani dan menggarapnya untuk produksi. Selain memproduktifkan lahan juga akan meningkatkan produktivitas manusia Indonesia.
Berdasarkan GFSI juga, perlu penguatan komitmen politik untuk melakukan pembangunan yang ramah lingkungan sehingga nilai keberlajutan alam tersebut terjaga.