Selasa, 11 Agustus 2020

Prevalensi Ketidakcukupan Konsumsi Pangan (The Prevalence of Undernourishment/PoU)

PoU merupakan salah satu indikator SDG (Sustainable Development Goals) dengan target  Tanpa Kelaparan. Pada tahun 2030 diharapkan di dunia sudah tidak ada kelaparan, setiap penduduk miskin mampu mengakses pangan sepanjang tahun. Uniknya, produksi pangan sesungguhnya melimpah, melebihi atau mencukupi untuk kebutuhan setiap orang di dunia ini. Namun, masih terdapat 690 juta orang terkategori undernourishment.

Dalam situsnya, FAO menyebutkan bahwa  The prevalence of undernourishment (PoU) is an estimate of the proportion of the population whose habitual food consumption is insufficient to provide the dietary energy levels that are required to maintain a normal active and healthy life. It is expressed as a percentage. This indicator will measure progress towards SDG Target 2.1. Dengan kata lain, Prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan merupakan estimasi proporsi dari suatu populasi tertentu, dimana konsumsi energi biasanya sehari-hari dari makanan tidak cukup untuk memenuhi tingkat energi yang dibutuhkan untuk hidup normal, aktif dan sehat, yang dinyatakan dalam bentuk persentase. 

Sebagaimana jargon SDG dengan "No Left Behind" maka setiap negara harus ikut berperan aktif dalam mengambil indikator SDGs sebagai kinerja setiap negara agar Goal setiap SDGs tercapai, termasuk PoU ini. BPS telah mendefiniskan, menghitung dan mengambil datanya sebagai bentuk pertanggungjawaban Indonesia kepada dunia terkait indikator ini, apakah setiap tahun terjadi penurunan atau sebaliknya. 

BPS lebih lanjut mendefinisikan ketidakcukupan konsumsi pangan sebagai suatu kondisi dimana seseorang, secara reguler, mengkonsumsi sejumlah makanan yang tidak cukup untuk menyediakan energi yang dibutuhkan untuk hidup normal, aktif dans sehat. Undernourishment berbeda dengan malnutrition dan undernutrition, dimana malnutrition dan undernutrition adalah status gizi seseorang. Undernourishment digunakan sebagai indikator estimasi pada level populasi atau kelompok individu, bukan pada level individu sendiri, sehingga indikator ini tidak tepat digunakan untuk mengidentifikasi individu mana dari populasi tersebut yang mengalamai ketidakcukupan konsumsi pangan.

PoU dinyatakan dalam persentase MDER (Minimum Dietery Energy Requirement). Proporsi populasi yang mengalami ketidakcukupan konsumsi pangan di bawah kebutuhan minimum energi MDER yang diukur dengan kkal. Kebutuhan minimum energi merupakan fungsi kepadatan probabilitas tingkat konsumsi kalori umumnya sehari-hari untuk rata-rata per kapita individu dalam suatu populasi tertentu. Indikator PoU ini dimanfaatkan untuk memonitor tren atau perubahan pola ketidakcukupan konsumsi energi dari makanan, dalam suatu populasi, secara berkala dari waktu ke waktu. Indikator ini dapat menggambarkan perubahan dalam ketersediaan makanan dan kemampuan rumah tangga untuk mengakses makanan, pada tingkat sosial ekonomi yang berbeda, serta pada tingkat nasional dan provinsi/kabupaten. Indikator ini digunakan untuk mengukur target menghilangkan kelaparan secara global karena dianggap memungkinkan untuk mengestimasi kondisi kekurangan pangan yang parah dalam jumlah populasi yang besar. Sumber dan cara pengumpulan data untuk PoU ini diantaranya:

1. BPS dengan Survei Ekonomi Nasional (Susenas), terdapat data konsumsi pangan dan pengeluarqan rumah tangga serta data neraca bahan makanan.

2. Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. Terkait dengan data Neraca Bahan Makanan (Food Balance Sheet)

3. Kementerian Kesehatan. Data tinggi badan menurut umur dan jenis kelamin, hasil dari Riset Kesehatan Dasar. SKMI/SDT untuk data asupan energi individu, hasil dari Litbang Kesehatan. 

4. FAO/WHO. Data referensi standard nasional tentang index mas tubuh dan weight gain.


RPJMN 2020-2024

Pada RPJMN 2020-2024 di Prioritas Nasinoal pertama yaitu Penguatan Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas terdapat indikator PoU yang dijadikan indikator program prioritas:Peningkatan Ketersediaan, Akses dan Konsumsi Pangan. Posisi PoU Indonesia di tahun 2019 sebesar 6,7%. Nilai PoU ditargetkan sebesar 6,2% (tahun 2020) dan 5,0% (tahun 2024). Kementerian/Lembaga negara yang dianggap terlibat dalam capaian PoU ini adalah Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Kesehatan. 

Untuk menurunkan PoU ini maka perlu dipahami faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berdasarkan hasil analisis Eri Mardison, seorang stastisi Madya BPS, bahwa persentase pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh yang sangat besar terhdap kecukupan gizi masayarakat, studi kasus di sumatera Barat pada tahun 2018. Sementara itu, persentase kemiskinan kurang berpengaruh.

Jadi, untuk menangani masalah PoU ini adalah dengan memacu pertumbuhan ekonomi yang akan dengan sendirinya mengurangi PoU. Inilah upaya terbaik dalam mengatasi masalah PoU. Namun, karena pertumbunan ekonomi membutuhkan upaya menyeluruh, maka dalam hal tertentu bila terjadi masalah akut maka pemerintah harus segera memberikan bantuan langsung terhadap orang yang terpapar PoU.

Hasil dari analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prevalensi Ketidakcukupan Konsumsi Pangan di Sumatera Barat Menggunakan GeoDa bisa diunduh disini. Analisa tersebut sudah dipublikasikan dalam Jurnal Riset Gizi, tanggal 31 Mei 2020.

Dari hasil analisa tersebut, PoU akan naik atau turun seiring kondisi pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, tidak cukup hanya Kementan, KKP dan Kemenkes yang terlibat bertanggungjawab dalam capaian indikator tersebut. Seharusnya, Kemenko perekonomian bisa berranggungjawab mengkoordinir semua K/L agar menaikkan pertumbuhan ekonomi. Kemendagri bisa juga mengambil indikator tersebut dan mendelegasikan ke setiap Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kemensos mentargetkan bantuan langsung kepada yang terpapar PoU. 

Sebagaimana jargon SDGs, maka PoU pun akan tercapai jika semua terlibat, No Left Behind.






Minggu, 09 Agustus 2020

Skor Pola Pangan Harapan

Skor Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi pangan sehingga dapat digunakan untuk merencanakan kebutuhan konsumsi pangan. Skor PPH bernilai 100 menunjukkan nilai semua kebutuhan konsumsi tubuh, sehingga semakin tinggi skor PPH semakin beragam dan seimbang konsumsi pangan penduduk. Jika di jaman orde baru kita mengenal 4 sehat 5 sempura maka sekarang para pakar gizi lebih mendetailkan kebutuhan tubuh sesuai dengan bobot masing-masing sumber pangan agar tercipta pola konsumsi yang ideal.

Secara umum, ada 9 kelompok pangan dalam PPH yaitu: padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah serta selain 8 kelompok tersebut dimasukkan ke lain-lain. Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi XI Tahun 2018, ditetapkan bahwa jumlah kalori harian yang ideal dikosumsi orang Indonesia sebesar 2.100 kkal. Seacara lengkap komposisi setiap kelompok pangan yang ideal untuk kita makan bisa dilihat pada tabel dibawah ini.

Skor PPH Tahun 2019 senilai 90,8 mengalami penurunan dibandingkan Tahun 2018 yang senilai 91,3. Dilihat dari komposisi AKG nya, konsumsi padi-padian idealnya 50%, namun konsumsi orang Indonesia di tahun 2019 sebesar 64,4%, masih terlalu tinggi dan harus diturunkan sebesar 14,4%. Kampanye mengurangi konsumsi beras harus dimasifkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dengan menggandeng seluruh stakeholder agar terjadi perubahan mindset konsumsi beras. 

Selain beras (padi-padian) yang sudah melampaui konsumsi ideal, kelompok pangan minyak dan lemak sudah mencapai 12,1%, meskipun idealnya 12%. Sedangkan kelompok pangan hewani tahun 2019 sudah mencapai ideal yaitu 12%. Untuk kelompok pangan lainnya, masih jauh dibawah persentase ideal. 

RPJMN 2020-2024

Di dalam RPJMN 2020-2024, indikator Skor Pola Pangan Harapan dijadikan sebagai salah satu indikasi keberhasilan dalam program prioritas peningkatan ketersediaan, akses dan kualitas konsumsi pangan. Target yang ingin dicapai untuk skor PPH yaitu 90,4 (Th 2020), 91,6 (Th. 2021), 92,8 (Th. 2022), 94,0 (Th. 2023) dan 95,2 (Th. 2024).  Selain skor PPH, indikator yang digunakan adalah Angka Kecukupan Energi (AKE) dengan target 2.100 kkal per tahun hingga tahun 2024, merupakan angka ideal berdasarkan WNPG XI. Begitu pula dengan Angka Kecupan Protein (AKP) ditargetkan 57 gram/kapita/hari. Meskipun terjadi duplikasi indikator karena skor PPH juga berstandar kepada angka ideal AKE dan AKP, di RPJMN ketiga indikator tersebut menjadi indikator program prioritas. Untuk AKE dan AKP berdasarkan baseline tahun 2019, sudah tercapai jauh diatas angka ideal, sehingga RPJMN seolah mensyaratkan kinerja untuk AKE dan AKP kedepan agar diturunkan sesuai angka ideal, bila ditautkan dengan skor PPH masih jauh dibawah angka 100 (sempurna). Selain ketiga indikator tersebut masih ada indikator lain yang dijadikan standar keberhasilan/capaian dalam kinerja yaitu PoU (Prevelence of Under-nourishment) dan FIES (Food Insecurity Experience Scale). Kedua indikator ini akan dibahas tersendiri.

Dari indikator di program prioritas tersebut, dijabarkan kedalam indikator kegiatan prioritas. Salah satunya yaitu Peningkatan kualitas konsumsi, kemanan, fortifikasi dan biofortifikasi pangan. Dengan indikator: konsumsi ikan, konsumsi daging, konsumsi protein asal ternak, konsumsi sayur dan buah, persentase pangan segar yang memenuhi syarat keamanan pangan, luas lahan produksi beras biofortifikasi, akses terhadap dan fortifikasi bagi keluarga dan persentase pansa pangan organik.

Secara lengkap, anda bisa unduh RPJMN disini.


Secara teori, seharusnya target konsumsi mengacu kepada komposisi skor PPH yang ditetapkan di Program Prioritas. Misalnya, target konsumsi buah dan sayuran pada tahun 2020 sebesar 260,2 gr/kapita/hari dan tahun 2024 ditargetkan sebesar 301,3 gr/kapita/hari dengan baseline tahun 2019 yang hanya sebesar 244,3 gr/kapita/hari. Apabila merujuk ke komposisi PPH, ideal konsumsi sayur dan buah hanyalah 250 gr/kapita/hari. Hal ini menunjukkan bahwa cascading (mengalirkan kebawah) dari PPH tidak digunakan sepenuhnya dalam menentukan target indikator di kegiatan prioritas. Dari baseline komposisi PPH tahun 2019, seharusnya jika ingin mencapai peningkatan PPH yang ideal maka kelompok pangan padi-padian harus diturunkan, sedangkan yang lain ditingkatkan sampai batas ideal PPH. Begitu pula dengan munculnya indikator produksi beras biofortifikasi seharusnya ada di indikator penanganan stunting yang ada di prioritas nasionla lainnya.


Kondisi kekinian terkait AKE dan AKP sudah diatas target ideal PPH, lalu ditargetkan hingga 2024 agar sesuai dengan target ideal. Hal ini juga cukup membingungkan karena satu sisi AKE dan AKP sudah tercapai, sedangkan skor PPH masih jauh di bawah nilai 100. Bagaimana caranya menurunkan target AKE dan AKP agar ideal sedangkan PPH belum ideal? tentu saja dengan konsisten merujuk kepada komposisi atau pembobotan kelompok pangan yang ada di PPH. Hal inilah yang akan menjadi membingungkan dalam pendelegasian kinerja stakeholder mana yang harus bertanggungjawab menaikkan dan menurunkan konsumsi agar mendekati nilai ideal PPH?

Semestinya, skor PPH, AKE dan AKP di detailkan per provinsi bahakn kabupaten/kota sehingga terlihata daerah aman saja yang dibawah rata-rata nilai nasional. Maka, fokus pencapaian untuk menaikkan skor indikator tersebut dilakukan didaerah-daereah yang kekurangan. 

Biasanya indikator tersebut akan diminta ke K/L yang punya kewenangan produksi komoditas-komoditas pangan tersebut, padahal jika melihat tusi dan kewenangan berdasarkan perpresnya, dibatasi hanya sampai kepada urusan produksi dan pascapanen. Inilah yang tersurat dari UU pangan Nomor 18 tahun 2012 bahwa ada badan yang mengurusi urusan pangan dibawah Presiden. Selama lembaga itu belum ada maka yang punya kewenangan mengkoordinasi antar K/L harus mengambil indikator tersebut untuk memastikan setiap lembaga bersinergi dan berbagi beban kinerjanya, begitulah jika dilihat dari sudut pandang manajemen strategis.


Kemungkinan besar skor PPH ini dibebankan kepada Kementerian Pertanian yang berwenang meningkatkan produksi pertanian, daya saing dan pemantapan ketahan pangan. Urusan pangan (apalagi konsumsi) belum tertulis/tertera dalam Perpres Tusi kementerian Pertanian. Hanya saja, di Kementerian Pertanian ada eselon I yaitu Badan Ketahanan Pangan sehingga mau tidak mau harus terlibat dalam urusan pangan bersinergi dengan K/L lain. 

Target skor PPH akan lebih efektif jika di cascade ke pemerintah daerah provinsi (Gubernur) dan kabupaten/kota (Bupati/Walikota), berarti harus melibatkan kewenangan Kemendagri. Untuk kampanye konsumsi sehat akan lebih efektif jika Kemendikbud dan Kemenkes terlibat aktif kampanye dan membuat gerakan nasional hidup sehat. 


Pertanyaan besarnya, siapakah yang paling bertanggungjawab dalam mengintervensi naik turunnya konsumsi masayarakat atau berubahnya pola pangan di masyarakat?


Untuk mengetahui secara lengkap data PPH dan komponennya, anda bisa unduh disini.


Penyadaran pentingnya pola hidup sehat dengan PPH dan peningkatan income rumah tangga akan sangat berpengaruh di dalam pencapaian PPH, semakin tinggi pendapatan akan memungkinkan untuk memilih konsumsi yang terbaik untuk tubuhnya. Dan kesadaran akan hidup dengan pola pangan sehat yang menentukan pilihan konsumsi ketika setiap individu mampu mengakses pangan yang diinginkan.


Terakhir, marilah kita dukung program hidup sehat dengan target pola pangan harapan ini.