Selasa, 21 September 2021

Sejarah Singkat Koperasi Pertanian Jepang (Japan Agricultural Cooperative)

 Koperasi Pertanian Jepang atau Japan Agricultural Cooperative lebih dikenal dengan singkatan JA adalah koperasi yang didirikan dengan tujuan melindungi dan memperbaiki/mengembangkan usaha petani serta berkontribusi dalam peningkatan taraf hidup petani dan masyarakat berdasarkan prinsip saling menolong. Dalam bahasa Jepang, saling menolong lebih dikenal dengan sebutan "Nougyo Kyoudou Kumiai". Bila di Indonesia, sangat mirip dengan konsep gotong royong dan kekeluargaan sebagai prinsip koperasinya.

sumber: nippon.com

Pada tahun 1960, ada 12.000 JA dan tahun 2020 menjadi 538 JA saja. Perubahan jumlah tersebut karena semakin besarnya bisnis JA dan perubahan organisasi serta penggabungan antar JA di daerah. JA merupakan koperasi bukan korporasi (perusahaan). Perbedaan mendasar dari konsep koperasi dan korporasi adalah:

  • Tujuan koperasi bukan untuk mencari keuntungan tetapi mendukung anggotanya dalam memenuhi kebutuhan produksi dan hidupnya
  • Investor dari koperasi adalah para anggotanya yang teridiri dari para petani dan  nelayan
  • Pengelola dari koperasi merupakan anggota dan sekaligus orang yang menjadi representatif
  • Metode operasional organisasi ditentukan oleh hak suara yang sama setiap anggota, satu orang satu suara (seperti cara demokrasi).

1947 : Agricultural Cooperative Law (UU Koperasi Pertanian)

1950an : Jepang mengalami kebangkitan ekonomi dan stabilitas dalam politiknya ditandai dengan demokrasi, hal ini berimbas juga di institusi dan asosiasi pertanian seperti JA

1954 : JA membentuk kesatuan organisasi di seluruh jepang dengan terbentuknya JA-Zenchu (Central Union of Agricultural Cooperative)

1961 : Diterbitkanlah UU Pertanian (The Agricultural Basic Law) untuk menerapkan kebijakan pertanian melalui badan pemerintahan di tingkat prefektur dan kota

1970an : banyak terjadi penggabungan JA antar wilayah karena sebagai bentuk upaya spesifikasi produk per wilayah

1972 : penggabungan kelembagaan antara National Federation of Agricultural Cooperative Sales (Zenharen) and National Federation of Agricultural Cooperatives Purchasing (Zenkouren) membentuk National Federation of Agricultural Cooperatives Association (ZEN-NOH)

1980an : desakan untuk penggabungan JA dalam satu prefektur semakin menguat sehingga ditetapkanlah pengaturan JA dikoordinasikan oleh satu JA dalam satu prefektur.

1990an : JA berinisiatif memperkenalkan konsep “farmer’s market” sebagai sebuah kendaraan baru untuk mendukung pertanian di daerah pelosok. 

2015 : Perdana Menteri Shinzo Abe mempromosikan Trans-Pacific Partnership (TPP) yang ditentang oleh JA, sehingga pemerintah mencoba mengurangi peran JA agar pengaruh politiknya berkurang.

2016 : PM Abe mengusulkan perubahan organisasi JA-Zenchu dan disetujui pemerintah sehingga di Tahun 2016, JA-Zanchu disusutkan hanya menjadi unit purchasing Zen Noh yang bertujuan untuk menaikkan pendapatan petani.

Kuatnya pengaruh politik Grup JA membuat Perdana Menteri Abe saat itu mereduksi kewenangan dan pengaruh JA sehingga dilakukan perubahan organisasi dengan dihilangkannya JA nasional atau JA-Zunchu yang menangani banyak hal secara nasional, dan digantikan Zon Noh yang memeilki wewenang hanya dalam masalah bisnis perdagangan dengan tujuan meningkatkan keuntungan anggota JA. 

Pengaruh JA cukup besar karena memiliki anggota reguler sebanyak 4,25 juta dan asosiasi 6,24 juta di Tahun 2018. Struktur organisasi JA juga sangat kuat dan terkoordinir mulai dari level nasional, prefektur dan kota. 



Tri Wahyu Cahyono,
PhD Student
Food Economics Laboratory
Graduate School of Bioagricultural Sciences
Nagoya University
Chikusa, Nagoya,  Japan

Sumber Materi: Prof. Tsutomu Yosuke, International University of Japan. 

Selasa, 29 Juni 2021

Meskipun Pandemik, PDB Vietnam Tumbuh 6,6% di Bulan April-Juni 2021

 Pertumbuhan PDB Vietnam kali ini didukung perkembangan pabrikan smartphone yang jadi andalan ekspor. Ekspor ke USA meningkat menjadi $44,9 milyar dari total nilai ekpor Vietnam sebesaar $157,63 millyar. Ekspor garmen, sepatu dan barang lainnya ke Erop juga meningkat, diakibatkan perjanjian free trade dengan Uni Eropa yang dirasakan dampaknya di Tahun 2021 ini.

sumber gambar: asia.nikkei.com


Pembangunan infrastruktur Vietnam menjadi salah satu kuncinya sebagai pendukung industri agar mampu ekspor. Ada dua terminal baru yang dibangun di Pelabuhan Lach Huyen senilai $304 juta. Tenaga kerja Vietnam yang cukup murah menjadi daya tarik perusahaan luar untuk berinvesatasi disana. 

Disisi lain Vietnam menghadapi masalah yang sama dengan pandemik Covid-19 ini, Pemerintah Vietnam berencana untuk menganggarkan $1,1 milyar untuk vaksinasai penduduknya sejumlah 75 juta penduduk, dengan target di akhir tahun ini bisa mencapai jumlah yang dibutuhkan untuk herd immunity. 

Proyeksi pertumbuhan PDB Vietnam bisa mencapai 6,7%, tertinggi di negara se Asia Tenggara. Keberhasillan program vaksinasi bisa mempercepat pertumbuhan di sektro lain seperti pariwisata dan lainnya.

Suber: Nikkei Asia, 29 Juni 2020.

Minggu, 27 Juni 2021

Ketahanan Pangan di Masa Pandemi

 Oleh: Tri Wahyu Cahyono

The Economist Group telah merilis ranking negara berdasarkan Global Food Security Index (GFSI). Pada tahun 2020 (era mulai pandemi), secara keseluruhan penilaian, Indonesia mengalamai sedikit penurunan skor, dari 60,9 tahun 2019 menjadi 59,5 di tahun 2020. Indonesia pada urutan ke-65 dunia dari sekitar 120 negara. Bila dijabarkan urutan negara dari 4 komponen penilaian ketahanan pangan, posisi Indonesia yaitu: 

1. Affordability (keterjangkauan), berada di urutan ke-55 dengan skor 73,5;

2. Availability (ketersediaan), berada di urutan ke-34 dengan skor 64,7;

3. Quality and safety, berada di urutan ke-89 dengan skor 49,6; dan

4. Natural Resource and Resilience, berada di urutan ke-109 dengan skor 34,1.

Pandemi covid-19 sedikit banyak mempengaruhi penurunan ketahanan pangan di Indonesia, bisa dilihat dari gambar berikut bagaimana perkembangan ketahanan pangan di Indoesia.

Gambar 1. Trend GFSI Indonesia, 2012-2020


Di era pandemi (tahun 2020), meskipun tidak semua variabel mengalami penurunan, ada beberapa yang menunjukkan peningkatan atau bernilai baik (warna hijau). 
Gambar 2. Skor GFSI Indonesia, Tahun 2020


Pada gambar 2 tersebut, perlu dicermati variabel yang berwarna merah. Pada affordability, perubahan biaya pangan karena terkait dengan inflasi dan stabilitas ekonomi menjadi penentu untuk menstabilkan biaya pangan. Begitu pula, akses pasar dan jasa pembiayaan sektor pertanian masih mendapatkan skor kurang atau merah karena pertanian masih dirasakan sebagai sektor yang kurang menguntungkan dan dengan kondisi petani gurem yang sangat besar, menjadikan sektor pertanian kurang menjanjikan. Petani gurem (pengolahan lahan kurang dari 0,5 hektar), secara keekonomian memang kurang menguntungkan, sehingga kesulitan mendapatkan dukungan dari perbankan. Disinilah, peran pemerintah dengan mendororong KUR (Kredit Usaha Rakyat) sebagai penjamin, dimungkinkan bisa meningkatkan akses permodalan sekaligus pasar. 
Dari sisi availability, Indonesia meperbaikai posisi atau skornya dengan cara mengurangi kelemahan atau skor merah seperti peningkatan biaya penelitian, pembangunan infrastrukutur pertanian dan mengurangi hambatan politik dan sosialnya. Banyak pengamat politik dan ekonomi berpendapat dengan ketidakstabilan politik akhir-akhir ini dan maraknya kasus korupsi termasuk kasus bansos, menguatkan bahwa political and social barrier ini menjadi salah satu faktor dalam penurunan ketahanan bangsa. 
Untuk masalah quality and safety, hampir semua berwarna merah, menunjukkan kualitas diversifikasi pangan yang rendah, banyak ditemukan kasus kurang gizi terutama mikronutrien, gizi yang masih dibawah standar dan qualitas protein yang masih rendah. Tentu saja, ini menyangkut masalah konsumsi yang ditentukan oleh kemampaun/daya beli masyarakat dan kesadaran akan pentingnya pola hidup sehat. Distribusi kekayaan sanagat menentukan dalam meningkatkan kualitas konsumsi. Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang maka semakin kecil persentase dari income untuk kebutuhan pangan, sehingga bisa meningkatkan kualitas hidupnya, termasuk mampu memilih jenis konsumsi.
Variabel atau komponen terakhir yang dinilai adalah natural resources and resilience, menjadi komponen terparah dalam penilaian GFSI Indonesia. Eksploitasi sumber daya alam menyebabkan kerusakan alam dan kurang menjaga keberlanjutan demi mengejer pertumbuhan ekonomi sanagat dirasakan hingga dekade ini. Begitu banyak proyek investasi asing untuk mengeksploitasi sehingga berdapampak pada kerusakan lingkungan. Bisa jadi juga, dalam penilainan ini, pihak economist kesulitan endapatkan data-data terkait lahan, air, lautan, sungai, danau dan komitmen pemerintah dalam menghadapi perubahan lingkungan/ikli tersebut. Terlihat, hampir semua komponen penilaian merah, atau memeng benar adanya bahwa sudah terjadi kerusakan dimana-mana baik di darat, laut, dan udara. 
Setidaknya, GFSI ini bisa menjadi bahan evaluasi untuk segera berbenah dan memperbaikan serta mencegah agar tidak jatuh semakin parah dan tidak berdaya dalam urusan pangan. Selain itu, diketahui bahwa urusan ketahan pangan ini bukan hanya urusan ketersediaan (yang terbukti komponen terkuat) namun juga masalah politik, sosial, lingkungan, konsumsi, ekonomi dan teknologi. Semua sektor saling terkait untuk menguatkan ketahanan pangan di Indonesi.

Peran Sektor Pertanian
Berdasarkan data BPS (2020), bahwa sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang masih bertumbuh positif, sharenya terhadap PDB sebesar 13,70% dan berkontribusi di sektor tenaga kerja sebesar 29,76%. Pertanian menjadi sektor yang bisa menolong dalam masa pandemi, banyak tenaga kerja dari sektor lain yang terkena PHK atau kerugian, beralih ke sektor pertanian baik bertani atau usaha pangan. 
Di llihat dari sisi pengeluaran, PDB Indonesia masih mengandalkan konsumsi Rumah Tangga sebesar 57,66%. Hal ini harusnya menjadikan populasi yang tinggi sebagai potensi untuk terus tumbuh ekonominya, asalkan daya beli masyarakat terus dijaga dan meningkat. Tantangan bangsa ini adalah bagaimana menjadikan rakyat menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, sehingga potensi pasar kebutuhan pangan bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri. selain itu, perputaran ekonomi dalam negeri bisa terus naik dan meningkatkan distribusi kekayaan. Sayangnya, di era liberalisasi ini dan e-commerce, rakyat kebanyakan hanya dijadikan sasaran konsumtif oleh pemodal global, sehingga keuntungan dari perniagaan tidak dinikamati di dalam negeri. Itulah mengapa kemiskinan meningkat dan pengangguran terbuka meninggi. 
Dari sisi spasialnya, perekonomian di Indonesia masih didominasi di Pula Jawa sebesar 58,75% dan Sumatera 21,36%. Harusnya ini menjadi salah satu pertimbanangan dalam pengembangan ekonomi dan pertanian. Bagaimana kepadatan populasi di Jawa bisa diurai, dengan memberikan lahan gratis di luar Jawa bagi petani miskin yang tidak punya lahan. Reformasi atau bahkan revolusi agraria menjadi kebutuhan mendesak agar terjadi keadilan pendapatan dan akses yang sama terhadap kepemilkikan lahan. Para penguasa lahan yang sanga luas namun tidak memanfaatkannya atau menguasai hajat hidup oarang banyak seperti hutan, tambang, air dan udara perlu diambil alih oleh negara dan dijadikan sebagai public good. 
Modal utama pertanian adalah lahan/tanah. Meskipun tidak diolah, tanah bisa bisa memunculkan tanaman diatasnya, sehingga kepemilikan lahan tidak terlepas dari fungsinya yaitu diproduktifkan. Belajar dari negara Jepang, selepas masa perang, recovery ekonominya salah satunya ditempuh dengan reformasi lahan. Para pemilki lahan yang memang tidak mau untuk mengelola tanahnya, "dipaksa" menjual ke pemerintah dengan harga mahall tersebut, lalu pemerintah akan menjual kembali kepada petani yang benar-benar mau mengolah tanah tersebut. 
Tanpa pengaturan kepemilkan lahan yang berkeadilan, sangat sulit untuk mengentaskan kemiskinan kalangan petani gurem. 

Di masa pandemi ini, ada beberap sektor yang masih tumbuh positif yaitu: pertanian, infokom, jasa keuangan, jasa pendidikan, jasa kesehatan, real estate dan pengadaan air. Meskipun ada yang peningkatannya tidak setinggi sebelum pandemi. Kondisi keuangan negara yang masih sakit, mengindikasikan untuk mencari pemasukan selain yang sudah ada. Utang negara yang semakin meningkat setiap tahun dan meroket dengan adanya pandemi ini, terasa semakin memberatkan pemerintah ketika harus jatuh tempo pembayaran utang. Beban utang bisa mencapai 40% dari APBN sehingga pastilah sangat memberatkan. Untuk itu, pemerintah mengajukan perubahan UU KUP, dan memasukkan sektor dengan pertumbuhan ekonomi positif agar dikenai pajak, termasuk pertanian dengan komoditas pokok atau sembako pun tak lepas dari incaran perpajakan. 

Pajak Penambahan Nilai di Sektor Pertanian

Sasaran pajak ini adalah pengusaha kena pajak yang beromset 4,5 milyar rupiah per tahun. Bila dilihat rantai pasok pangan di Indonesia, maka siapapun pengusahanya yang bergerak di bidang perniagaan pertanian, semisal beras, (mulai pengepul, pengolah, pedagang tradisional dan modern), apabila mereka terhitung pengusaha kena pajak maka akan dikenai pajak tersebut. Konsekuensi dari pengenaan pajak ini akan semakin membebani para pengusaha sehingga mereka akan menaikkan harga jual produk. Otomatis, produsen (petani) dan konsumen akan terdampak karena pengusaha kena pajak menjadi faktor penentu harga beli dan jual sampai ke konsumen. 

Dalam waktu jangka menengah, dengan tambahan beban dan harga produk pertanian akibat terkena pajak ini, maka kalangan menengah akan turun jumlahnya dan mereka memilih konsumsi dengan kemampuan dan efisiensi pengeluaran rumah tangga. Kualita konsumsi kelas menengah akan menurun. Sedangkan kalangan miskin juga akan terdampak dengan kenaikan harga disebabkan banyaknya permintaan konsumsi beras non premium, pengusaha akan menaikkan harganya. Hukum supply-demand, dengan meingkatnya permintaan konsumi maka akan meingkatkan harga produk. 

Pengusaha yang menghasilkan kelas premium menghadapi dilema, karena pasar dalam negerinya menurun, untuk bersaing ekpspor pun ditentukan oleh harga jual dan biaya produksi. Peningkatan pajak, akan membebani kepada biaya produksi. Disinilah dilemanya, kemungkinan daya saing pun menurun. Bagi pemerintah, setidaknya ada sumber pemasukan kas negara yang bertambah. Dan, tentu saja bisa memberikan insentif tambahan kepada masayarakat termasuk petani dan pengusaha. Menarik pajak bagi kebutuhan khalayak ramai (hajat hidup orang banyak) menjadi dilema dan tambahan beban, beda halnya jika kondisi rakyat serba kecukupan dan makmur, maka penambahan iuran oleh negara karena dibutuhkan, seolah menjadi sedekah mereka.

Setidaknya, dari simulasi sederhana tersebut, peningkatan pajak akan menguntungkan pemerintah dan sedikit menekan konsumsi kalangan menengah karena harga pangan premium meningkat. Daya beli sebagian masayarkat akan turun dan akses pasar semakin rendah. Nilai GFSI keterjangkauan akan semakin rendah. 

Alternatif Solusi Peningkatan Ketahanan Pangan

Berdasarkan data GFSI diatas, maka untuk meningkatkan keterjangkauan dengan cara meningkatkan akses pasar. Peningkatan daya beli rakyat miskin bisa dilakukan dengan bantuan langsung tunai (tunjangan hidup) agar mereka bisa bertahan hidup dan mampu bekerja. Penduduk dengan profesi petani/buruh, diberi kesempatan untuk memilki tanah dan diberikan modal untuk bertani di lahan-lahan yang dikuasai pemerintah di luar Jawa, dengan catatan tanah tersebut tidak boleh dijual. Pemerintah mengambil tanah-tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya selama bertahun-tahun, tanpa diusahakan apapun dan mendistribusikannya kepada rakyat miskin agar dijadikan lahan pertanian. Dalam waktu 1-2 tahun, pemerintah dan perbankan mempermudah akses permodalan dalam menghidupkan tanah terbengkalai tersebut. Setelah para petani tersebut mampu menghidupakan tanah dan menjadikannya produktif selama 2 tahun, pemerintah baru akan memberlakukan pajak hasil produksi dan pajak tanah.

Untuk meningkatkan availability, sangat erat hubungannya dengan trasnportasi dan infrstruktur pertanian. Orientasi infratsruktur pemerintah perlu difokuskan untuk pelayana rakyat seperti jalan umum hingga merambah ke sawah-sawah. Pembangunan tempat penyediaan air untu rumah juga terintegrasi untuk sawah, sehingga setiap rakyat bisa mendapatkan pelayanan yang sama baik untuk hidup dan untuk bertani. Peningkatan biaya penelitian dan adopsi teknologi agar petani mudah menerapkan teknologi kekinian yang berfungsi mempermudah dan efisien. Dan yang paling berat, menstabilkan kehidupan politik dan sosial. Kondisi politik suatu bangsa sangat mempengaruhi ketahanan pangan, karena kebijakan yang dihasilkan bisa kontraproduktif dengan tujuan ketahanan pangan. Selain itu, tingginya tingkat korupsi juga membuat kehidupan sosial tak stabil, rakyat mulai kurang percaya kepada pemerintahnya sehingga berbuah ketidakteraturan sosial di masyarakat.

Untuk meningkatkan kualitas dan keamanan pangan, perlu memasukkan kurikulum dan gerakan massal kampanye hidup dan makan sehat sedini mungkin. Peningkatan kemakmuran rakyat akan meninggikan pola pangan sehatnya karena bisa membeli makanan yang relatif lebih mahal namun sehat. Kebanyakan pangan kurang berniali gizi dan kurang sehat, karena menekan harga atau keterbatasan biaya produksi. Bagi rakyat miskin (dengan kemampuan beli minim), yang penting kenyang dulu, baru berpikir pangan sehat. Bagi rakyat miskin, pemerintah harus menyediakan atau mendukung semua komponen bangsa untuk terlibat dalam bantuan pangan sehat. Perubahan konsumsi harus dimulai dari perubahan pemahaman tentang makanan sehat. Lalu, pemerintah mengatur mana saja makanan yang boleh beredar dan mana yang tidak dengan standar halal dan baik (sehat). 

Terakhir, sumber daya alam perlu dikelola secara bijak, jangan hanya karena berharap ekonomi tinggi lalu mengeksploitasi habis-habisan. Perlu adanya perubahan paradigma pembangunan, bukan lagi berorientasi kepada pertumbuhan semata tetapi keberlanjutan dan berkesinambungan. Telah nyata kerusakan di bumi, air dan udara karena ulah tangan manusia. 


Tri Wahyu Cahyono,
PhD Student
Food Economics Laboratory
Graduate School of Bioagricultural Sciences
Nagoya University
Chikusa, Nagoya,  Japan

Kamis, 17 Juni 2021

Kebijakan Peningkatan Produksi dan Swasembada Pangan di Jepang pada Masa Post War

 Oleh: Tri Wahyu Cahyono

Jepang, pada tahun 1950-1970, mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat (rapid economic growth era). Sepanjang 20 tahunan tersebut terjadi beberapa peristiwa besar politik yang sangat berpengaruh dalam perekonomian Jepang. Pada tahun 1950-1953, terjadi peningkatan perang dingin yang ditandai dengan Perang Korea. Pada masa ini, kebijakan ekonomi Jepang terpusat pada kemandirian (self-reliance). Jepang merubah strategi ekonominya dari strategi sebelum perang menjadi pasca perang, dari industri tekstil menjadi industri berat seperti mesin dan produk kimia. Langkah ini mengubah Jepang menjadi salah satu negara industri di dunia. 

Sumber gambar: wikipedia.org


Masa post-war ini cukup penting karena memberikan pondasi bangsa yang kuat dalam kemandirian. Perubahan titik berat industri menuju industri berat (teknologi) dan kimia memberikan harapan ekonomi yang cukup menjanjikan dan melangkah ke negara dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi. Pada tahun 1955-1965, Jepang mampu menjadi negara industri berat dan kimia dengan ekonomi yang tinggi. Jepang mampu menlampui pertumbuhan ekonomi 2-3 kali pertumbuhan negara-negara industri Barat seperti USA, UK, Jerman, Perancis dan Itali. 

Pada tahun 1965-1970an, pertumbuhan ekonomi Jepang terganggu dengan perubahan ekonomi dunia, dengan adanya krisis minyak bumi dan perubahan sistem mata uang dunia (berakhirnya Bretton Woods System). Produk hasil industri berat dan kimia Jepang sangat unggul di duni sehingga Jepang menikmati keuntungan dari industri ini. Di lain pihak, sektor pertanian tertekan sehingga Jepang menjadi negara improtir produk pertanian USA. Periode ini, di Jepang mengalamai penurunan swasembada pangan dan produk pertanian.

Fenomena pertumbuhan sangat cepat di Jepang pada saat itu, menyebabkan impor pertanian meningkat dan swamsembada pangan menurun. Pada saat yang bersamaan, target untuk meningkatkan produksi pertanian dan swasembada menjadi kurang penting lagi dalam kebijakan pertanian. Untuk itu, di era awal pasca perang, Jepang menghadapai kondisi untuk mempercepat transformasi ekonomi. 

Upaya untuk meningkatkan produksi dan swasembada pangan menjadi dasar pijakan penting dalam periode berikutnya ketika menjadi negara industri berat dan kimia. Jepang mengalami kelemahan dalam pertukaran mata uang asing. Imbasnya, impor sektor pertanian meningkat. Harga produk pertanian masih rendah dan tetap dijaga agar bisa rendah agar seimbang dengan upah/gaji yang masih rendah, agar daya beli rakyat tetap tinggi. Pemerintah Jepang tetap memberikan subsidi yang tinggi terhadap disparitas harga impor dan produk nasionalnya. Meskipun produk pertanian meningkat namun belum mencukupi persediaan dalam negeri. Di satu sisi, di perdesaan Jepang masih cukup bahakn surplus populasi penduduknya, yang mayoritas sebagai keluarga petani. Pemerintah mengeluarkan "Five year Plan to Increase Food Production (1953-1957)" yang diterbitkan tahun 1952. Berdasarkan dokumen tersebut ditargetkan peningkatkan produksi padi dan gandum 2,7 juta ton dan mengurangi impor pangan sebesar 0,83 juta ton selama lima tahun. 

Selain peningkatan produksi padi dan gandum, Jepang juga mentargetkan peningkatan produksi ternaknya. Melalui "Dairy Farming Promotion Law" tahun 1954, tarif impor bahan pakan ternak menjadi salah satu yang diatur dalam impor bahan baku untuk industri pakan. Bersamaan dengan liberalisasi perdagangan, Jepang memberlakukan tariff-free gandum dari USA untuk pabrik pakan.

Keringanan Pajak dan Kenaikan Harga Produk Pertanian

Pada tahun 1947-1949, petani diwajibkan membayar pajak pendapatan sebesar 15-19% dari hasil pertaniannya, namun kemudian dikurangi menjadi 9-10% pada tahun 1950-1953. Kebijakan tersebut sebagai salah satu dukungan pemerintah untuk meningkatkan produksi dan pemberian insentif bagi petani. Pasca perang, petani mulai menjual produknya ke pasar terbuka untuk produk kacang-kacangan, kentang, dan gandum, yang semula dipatok oleh pemerintah. Namun demikian, pemerintah masih memberlakukan kontrol penuh terhadap komoditas pangan pokok seperti beras, sehingga pemerintah harus menganggarkan lebih untuk mengatur harga besar di pasar. Pada tahun 1950-1954, rasio harga beras terhadap ongkos produksi, petani masih menerima 170%. Bahkan pada tahun 1955, rasio harga yang diterima petani bisa mencapai 211% dari ongkos produksinya. 

Selain beras, pemerintah juga melakukan kontrol harga terhadap makanan pokok sereal. Pada masa tersebut, produk sereal lokal mengalami penurunan karena US sebagai eksporter terbesar dunia mengaami surplus cukup besar, dan menjadikan program makan sereal sebagai kampanye hidup sehat seluruh dunia termasuk di Jepang, sehingga banyak bantuan pangan berupa sereal yang masuk dari Amerika. Pada tahun 1953, diterbitkanlah The Agricultural Products Price Stabilization Law, guna menjami dan melindungi harga produk dalam negeri terutama untuk pangan pokok seperti beras, sereal, kentang dan kedelai (ditambahkan pada tahun 1956).

Salah satu bentuk kebijakan pemerintah di masa pasca peran ini adalah dengan meningkatkan produksi pertanian dan perlindungan petani dengan pengurangan pajak pertanian. Selain itu juga dengan meningkatkan harga produk pertanian, perbaikan lahan pertanian dan peningkatan pelayanan pertanian. 

Sebagai negara industri, Jepang mendukung penuh peningkatan produk pertanian dengan penggunaan pupuk kimia, herbisida, pestisida dan mekanisasi pertanian terutama di daerah sentra produksi padi. Para petani berlomba untuk menghasilkan padi terbaik di Jepang. Para petani masih banyak menggunakan hewan ternak untuk membajak yang tak lama kemudian tergantikan oleh mesin. 

Sebagai negara kapitalis, perekonomian Jepang melesat seiring keberhasilan industrinya, dan hal ini juga menumbuhkan sektor pertanian sesuai kebutuhan pasar. Komersialisasi sektor pertumbuhan naik dari 56% (Tahun 1950) menjadi 64% (Tahun 1955). Petani pangan khususnya beras menjadi penghasil income utama hingga 44% dari total pertanian llalu diikuti oleh peternakan sebesar 12%. Lebih dari 70% agricullture cooperative (kelompok petani komersiil) bergerak di bisnis beras dan sereal sesuai sistem kontorl pangan saat itu. Para petani banayk mengeluarkan ongkos produksinya untuk pembelian pupuk kimia, herbisida dan pestisida sehingga banyak perusahaan besar yang bekerjasama dengan agriculture cooperative dalam bisnis tersebut. 

Tahun 1955, Agriculture cooperative menangani bisnis pupuk sebesar 66%, herbisida dan pestisida 66%, dan pakan ternak sebesar 30%. Dari data tersebut, terlihat peran agriculture cooperative sangat dominan dalam membangu distribusi logistik kebutuhan petani. 

Di era ini, Jepaang melakukan recovery ekonomi yang cukup cepat. Keputusan untuk menjadi negara industri mullai terlihat berhasil dengan berkembang pesatnya industri alat berat dan produk kimia, mulai terjadi pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Hal ini ditandai dengan petani gurem (<0,5 ha) jumlahnya turun drastis karena berkurangnya jumlah keluarga petani. Pada saat yang bersamaan, pertanian dengan > 0,5 ha meningkat tinggi. Perubahan strata petani mulai terjadi, dengan kepemilikan atau pengelolaan diatas 1 ha, pekerja pertanian (full petani) cukup bisa diandalkan, apalagi ditunjang kebijakan pemerintah dengan menurunkan pajak dan meningkatkan produksi (pemupukan, infrastruktur dan mekanisasi). 

Pada tahun 1953, Jepang tidak bisa mengelak dari kebijakan USA yang sedang surplus gandum dan jagung, sebagai eksporter terbesar dunia, USA pun mengimpor ke Jepang. Harga gandum dan jagung dari USA lebih rendah daripada harga produk domestik Jepang, sehingga kondisi dalam negeri mengalamai tekanan. Apalagi, USA menggunakan strategi surpllus pangan tersebut dengan bahasa program bantuan pangan (food aid), yang memungkinkan setiap negara meski tidak memilki dollar Amerika, untuk bisa menjual kelebihan gandum dari USA ini. 

Amerika memberikan hutang lunak (loan) kepada pemerintah yang membeli gandum dan jagungnya sebagai bentuk bantuan pangan dan ekonomi domestik negara tersebut. Di Jepang, pinjaman ini digunakan untuk program makan siang di sekolah. Selama tahun 1954-1956, Jepang menerima bantuan sebesar 800.000 ton pangan, yang hasil penjualan domestiknya digunakan untuk membangun sumber daya listrik dan sistem irigasi. 

Pada masa 1950-1953 inilah menjadi pondasi penting bagi Jepang setelah masa perang dalam recovery ekonominya dan melakukan transformasi ekonomi yang cukup cepat dari pertanian menuju industri manufaktur. 

Sumber Bacaan:

Agriculture in The Modernization of Japan (1850-2000). Edited by Shuzo Teruoka




Kamis, 27 Mei 2021

Kondisi Nilai Tukar Petani (NTP) di Masa Pandemi

Oleh: Tri Wahyu Cahyono 
 BPS telah merilis nilai laju pertumbuhan lapangan usaha triwulan pertama di Tahun 2021. Meskipun belum mencapai nilai sebelum pandemi (Tahun 2019), lapangan usaha pertanian, perikanan dan kehutanan memberikan pertumbuhan positif dengan laju pertumbuhan 2,95% (YoY). Tanaman pangan tumbuh sebesar 10,3 % didorong oleh peningkatan luas panen yang didukung oleh cuaca yang kondusif untuk panen raya. Tanaman hortikultura tumbuh 3,02% dengan didorong peningkatan produksi buah dan sayur. Peternakan juga mengalami kenaikan 2,48% didukung oleh naiknya permintaan domestik terhadap komoditas produksi ayam dan telur. Dan perkebunan dengan didukung naiknya harga sawit mampu tumbuh hingga 2,17%. Pertanian kembali menjadi andalan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia ketika menghadapi pandemi covid-19. Hal ini menunjukkan transformasi ekonomi dari sektor pertanian menuju industri belum terjadi secara sempurna sebagaimana negara-negara maju seperti Amerika dan Jepang. Share PDB pertanian terhadap ekonomi nasional sebesar 13,70% dengan distribusi tenaga kerja sektor pertanian sebesar 29,76%.
Bila dilihat dari struktur ekonomi pengeluaran dan spasial. Perekonomian Indonesia masih sangat ditopang oleh konsumsi Rumah Tangga sebesar 57,66% dan diikuti oleh pembentukan modal tetap bruto sebesar 31,73% dan ekspor sebesar 17,17%. Secara spasial, struktur ekonomi masih didominasi oleh provinsi di Pulau Jawa sebesar 58,75% dan Sumatera 21,36%. Di era pandemi ini, semua pulau mengalami pertumbuhan ekonomi negatif kecuali Sulawesi, Maluku dan Papua. Petani sebagai salah satu pelaku yang turut mendukung pertumbuhan ekonomi tersebut, tidak semuanya menikmati dari pertumbuhan ekonomi tersebut. Salah satu indikator yang dijadikan ukuran nya yaitu NTP. Indikator ini digunakan untuk menggambarkan daya tukar dari harga produk pertanian yang dihasilkan petani terhadap barang/jasa yang dikonsumsi petani. Indikator ini juga sering dijadikan sebagai salah satu indikasi level kesejahteraan petani. Bila nilai indeksnya diatas 100 maka usaha taninya dianggap bisa menguntungkan bagi petani, namun bila di bawah 100 menunjukkan usaha komoditas tersebut belum memberikan tambahan penghasilan untuk bisa menutup konsumsi petani. Terlepas dari perdebatan indikator ini layak digunakan sebagai indikator kesejahteraan petani atau tidak, RPJMN 2020-2024 sudah memuat target NTP pada tahun 2024 dengan target NTP menjadi 105. Hal ini menunjukkan target yang optimis, mengingat tidak semua subsektor dalam kondisi nilai yang baik. 

Secara rata-rata umum sektor pertanian NTPnya sudah bernilai 103, namun bila kita lihat subsektor pertanian sempit, hanya hortikultura dan perkebunan yang memiliki nilai diatas 100 yaitu masing-masing 104 dan 117 di bulan April 2021. Sedangkan tanaman pangan dan peternakan bernilai 96 dan 99. Tentu saja, kita tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa petani yang usahanya di sektor tanaman pangan dan peternakan kurang sejahtera, karena NTP hanyalah rasio harga, sedangkan berbicara kesejahteraan menyangkut pendapat riil dan daya beli petani. Setidaknya, dengan NTP bisa menjadi early warning system bagi kita semua bahwa pendapatan dari laba usaha pertanian mengalami kenaikan atau penurunan. Untuk menaikkan NTP petani maka tidak bisa hanya dilihat dari sektor produksi namun juga dari sektor demand atau konsumsi. Di sektor produksi, intervensi dan kebijakan pemerintah serta kolaborasi dengan swasta dan petani sudah cukup bagus dengan ditandai jaminan peningkatan pelayanan untuk peningkatan produksi bagi petani. 

Untuk menaikkan NTP harus ditempuh kebijakan kolaborasi antar kelembagaan negara, bukan hanya Kementerian Pertanian namun juga terkait dengan pihak-pihak penjamin distribusi dan penjaga inflasi. Kenaikan harga di tingkat konsumsi barang/jasa yang dibeli petani akan otomatis menurunkan NTP pertanian. Untuk itu, stabilitas harga konsumsi barang/jasa sangat diperlukan dalam menjaga nilai NTP terus naik. Selain itu, hal-hal yang mempengaruhi inflasi barang/jasa termasuk kondisi politik sangat berpengaruh. Berdasarkan data BPS tahun 2020, kontribusi kenaikan harga dalam menambah jumlah kemiskinan di dominasi kelompok makanan terutama beras dan rokok, sedangkan pada kelompok bukan makanan tertinggi dari kontribusi perumahan. Peran semua pihak dalam menaikkan kesejahteraan atau menurunkan tingkat kemiskinan termasuk di keluarga petani sangat terkait erat, karena 57,3% penduduk miskin berada di pedesaan. Dan, sebagian besar penduduk di pedesaan berprofesi sebagai petani. Artinya, bila kita ingin mengentaskan kemiskinan maka haruslah memperhatikan profesi petani tersebut.

 Karakteristik kemiskinan di Indonesia yaitu mayoritas kepala rumah tangga berpendidikan rendah, termasuk petani yang 28,79% tidak sekolah/tamat SD, 38,47% berpendidikan SD dan 16,8% berpendidikan SMP. Selain itu, kebanyakan rumah tangga miskin minim aliran listrik, sarana sanitasi dan air bersih tidak memadai. Bila dilihat dari jumlah jam kerja, para petani miskin ini juga memiliki jam kerja rendah. Berdasarkan data Sutas 2018, jumlah rumah tangga petani dengan kepemilikan lahan kurang dari setengah hektar sebesar 15,8% juta rumah tangga atau 59% dari total rumah tangga petani pengguna lahan. Skala usaha yang terlalu kecil inilah yang juga sangat berpengaruh dari rendahnya nilai tukar petani karena hanya mengandalkan dari lahan yang sempit. 

Menaikkan NTP sekaligus kesejahteraan petani tidak bisa hanya dilakukan dari satu sisi produksi namun juga kebutuhan konsumsi petani yang tercukupi. Selama ini, dengan intervensi kebijakan di bidang subsidi input produksi dan peningkatan produktivitas komoditas menunjukkan hasil cukup signifikan, meskipun alih fungsi lahan cukup tinggi namun produktivitas tetap bisa meningkat. Sudah saatnya, ada perhatian lebih dari sisi sektor lainnya yaitu agraria dengan reforma agraria nya, sektor pendidikan, kesehatan, perumahan, layanan air dan keamanan. Bila hak-hak kebutuhan hidup terpenuhi secara baik bagi petani miskin, niscaya menaikkan NTP akan lebih mudah. 

Di sisi lain, petani juga membutuhkan ada kesempatan terbuka untuk memperluas usahanya dengan penambahan lahan pertanian. Program kepemilikan tanah untuk pertanian terutama dari lahan-lahan tidur atau tak termanfaatkan menjadi solusi tercepat dalam menaikkan nilai usaha petani. Petani dengan karakteristik pendidikan rendah dan hanya mengandalkan pengalaman akan sangat terbantu dengan pemberian lahan garapan secara cuma-cuma. Disinilah peran kolaborasi pembangunan sangat dibutuhkan, di sektor produksi Kementerian Pertanian bersama stakeholder lainnya menjamin kebutuhan produksi pertanian tercukupi. Kementerian lainnya menjaga stabilitas harga dan daya beli serta pelayanan mendasar untuk hidup. 

Dengan kondisi sekarang ini, tanpa pengurangan kemiskinan seolah naiknya NTP tidak berpengaruh secara konsisten terhadap kemiskinan moneter (pendapatan) atau Indeks Pembangunan Manusia di Pedesaan. Tentu saja, apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas perlu terus dilakukan. Sellain itu, perlu ada perhatian lebih di sektor distribusi dan konsumsi agar daya beli petani naik dan bisa menjadi sejahtera. Kolaborasi merupaka kata kunci yang perlu segera dilakukan oleh jajaran pemerintah baik pusat maupun daerah agar jaminan kepastian usaha sektor pertanian semakin stabil.

Rabu, 31 Maret 2021

Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan Petani Padi

 Padi atau beras menjadi komoditas pangan penting karena hampir semua penduduk di Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokok. "Belum makan sebelum makan nasi" adalah anggapan yang sangat umum di masyarakat kita. Tak pelak, konsumsi beras melebihi proporsi anjuran dari para ahli gizi dalam pola pangan harapan (PPH). 

Sumber gambar: jakarta.globe.id

Selain itu, beras menjadi sumber karbohidrat yang cukup murah sehingga mudah diakses semua kalangan. Bahkan, beberapa daerah yang dulu terkenal dengan makanan pokok non-beras, berubah menjadi konsumen beras yang cukup tinggi juga. Perubahan pola konsumsi tersebut tentu saja terjadi dengan adanya kebijakan jangka panjang sejak era Orde Baru yang mengenalkan dengan "revolusi hijau" sehingga budidaya padi digencarkan dan diupayakan melimpah (swasembada). 

Berbeda dengan pola konsumsi penduduk di negara maju, dengan pendapatan/income per kapita yang sangat tinggi maka persentase dari penghasilannya untuk pangan semakin kecil. Mereka pun lebih memilki pilihan makanan dengan pola makan sehat dan aman karena peningkatan kemampuan akses terhadap pangan. Hal tersebut menunjukkan, bahwa peningkatan income akan mudah untuk mempengaruhi pola konsumsi masyarakat karena mereka memiliki pilihan makanan lebih banyak, bukan sekedar kenyang.

Berbicara kebijakan padi/beras nasional dan hubungannya dengan kesejahteraan petani,  pergantian era kepemimpinan, masih menyisakan banyak dilema antara produsen padi dan konsumen (warga negara) dalam tema "kesejahteraan". Ketika harga padi naik, maka pemerintah mencoba mencegahnya untuk mengamankan kemampuan konsumen, agar tak banyak penambahan penduduk miskin karena inflasi pangan. Ketika harga padi turun, maka pemerintah pun tak tinggal diam dengan membuat aturan penentuan harga minimal agar produsen tertolong tak banyak merugi. Namun demikian, melihat struktur distribusi perberasan nasional, penikmat keuntungan dari perniagaan padi masih didominasi oleh sektor tengah (middle man/broker/pedagang/businessman, industri logistik, dll). Pola tersebut bukan hanya di Indonesia saja, hampir di setiap negara yang menerapkan liberalisasi, sangat memungkinkan para pemilik modal untuk menguasai jalur distribusi barang/jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak. 

Pada tahun 2010, Muhammad Asaad sudah pernah menganalisis terkait kebijakan ekonomi komoditas padi dan kesejahteraan (Economic Policies on Rice Commodity and Welfare).  Salah satu hasil dari penelitiannya bahwa pengaruh terbesar dari jumlah impor beras di Indonesia adalah harga beras impor, jumlah cadangan beras tersedia, jumlah penduduk dan pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Harga beras impor sendiri sangat dipengaruhi oleh harga beras dunia dan tarif impor.

Penelitian tersebut dilakukan menggunakan simulasi kebijakan secara ekonomotrik, dengan 18 variabel dan data mulai 1979-2008.  Ada 4 simulasi kebijakan yang diujikan yaitu:

1. Menaikkan harga dasar gabah sebesar 20%

2. Pengurangan subsidi pupuk atau menaikkan harga pupuk sebesar 20%

3. Menaikkan tarif impor sebesar 30%, dan

4. Kombinasi kebijakan antara kenaikan harga gabah (20%) dan pengurangan subsidi pupuk (20%).

Hasil penelitian ini melihat dari pendekatan produsen, marketer, konsumen dan pemerintah. Ada sebelas (11) kesimpulan yang dihasilkan dari simulasi kebijakan tersebut, sebagai berikut:

1. Luas panen padi (luas areall persawahan) telah mencapai batas maksimum. Atau bisa dikatakan petani akan tetap mengusahakan sawahnya untuk bercocoktanam, apapun yang terjadi dengan harga pupuk yang naik, curah hujan berkurang, kesulitan kredit/modal, apalagi jika harga gebah naik yang menguntungkan produsen padi. Intinya, luasan panen bersifat inelastis terhadap variabel tersebut.

2. Produktivitas padi mengalami stagnan (bersifat inelastis). Meskipun, kita semua tahu bahwa produktivitas sangat dipengaruhi oleh jumlah penggunaan pupuk, harga pupuk, harga gabah, irigasi, areal intensifikasi, dan fenomena perubahan iklim (seperti El Nino), ternyata produktivitas padi di Indonesia relatif tetap.

3. Orientasi petani dalam menanam lebih kepada kebutuhan konsumsi. Peningkatan produksi tidak terpengaruh oleh kenaikan harga gabah. Hal ini menunjukkan bahwa harga bukanlah orientasi utama para petani.

4. Permintaan komoditas padi (beras) tidak terpengaruh oleh perubahan harga. Kenaikan harga eceran beras menjadi penentu pengaruh permintaan, namun bersifat inelastis. Kenaikan harga eceran hanya berpengaruh dalam waktu pendek. Secara jangka panjang permintaan beras tidak terpengaruh oleh harga karena besarnya penduduk Indonesia yang mengkonsumsi beras. Perubahan harga beras hanya berdampak kecil terhadap permintaan.

5. Impor beras bersifat elastis terhadap total produksi dalam negeri dan jumlah penduduk Indonesia. Variabel yang sangat mempengaruhi impor beras adalah harga beras dunia, tarif impor, nilai tukar, cadangan beras dalam negeri, populasi penduduk dan income per kapita. 

6. Kebijakan menaikkan harga gabah sebesar 20% sangat menguntungkan produsen padi dan meningkatkan pendapatannya (kesejahteraan). Sebaliknya, konsumen akan menurunkan permintaan dan kesejahteraannya. Pilihan kebijakan ini juga memberatkan keuangan negara karena harus menaikkan subsidinya kepada petani dan konsumen yang terdampak sekaligus.

7. Menurunkan subsidi pupuk akan meringankan pemerintah dan dianggap efisien, namun akan menyebabkan penurunan income produsen padi. Kebijakan kenaikan harga pupuk sebesar 20% menyebabkan kenaikan harga beras sehingga permintaan menurun. Secara tidak langsung baik produsen maupun konsumen langsung terdampak, yaitu pendapatan/kesejahteraannya berkurang.

8. Peningkatan tarif impor 30% tidak berdampak kepada total persediaan beras, hanya meningkatkan harga beras dalam persentase yang rendah. Kebijakan ini sangat menguntungkan produsen padi dan pemerintah bisa mendapatkan tambahan dari biaya/tarif tersebut. Namun, konsumen akan sedikit dirugikan dengan naiknya harga sehingga kesejahteraan konsumen menurun.

9. Kombinasi kebijakan antara menaikkan harga dasar gabah dan mengurangi subsidi pupuk merupakan kombinasi kebijakan yang merugikan konsumen karena harga naik, otomatis mengurangi kesejahteraan konsumen. Sedangkan bagi produsen padi masih menguntungkan. Secara ekonomi, kebijakan ini tidak efisien.

10. Untuk peningkatan produktivitas bisa difokuskan dengan pengembangan areal irigasi dan intensifikasi pertanian. Namun demikian, akan berdampak kepada penambahan biaya produksi sehingga harga gabahpun ikut naik yang berujung kepada berkurangnya pendapatan petani. Untuk itu, perlu ada antisipasi kebijakan lain jika hal ini dilakukan.

11. Apabila subsidi dikurangi yang menyebabkan harga naik, maka perlu ada stabilisasi harga jual agar produsen masih bisa untung. Minimal dijaga antara kenaikan harga di sektor input sama dengan keniakan harga di output.

Membaca hasil penelitian diatas yang menggunakan data sepuluh tahun yang lalu, ternyata masih cukup signifikan digunakan sekarang. Problematika dan dilema dalam kebijakan padi masih relatif sama, tergantung kebijakan politik memilih keberpihakan ke arah mana. Apakah hanya berorientasi kepada keuntungan pemerintah, produsen, konsumen atau pengusaha/marketer?. Sayangnya, dalam penelitian tersebut tidak membahas sisi marketer meskipun dalam variabelnya ada "Rice Market Margin" yang selalu positif bila kebijakan 2 dan 4 yang dipilih pemerintah, yaitu mengurangi subsidi atau dikombinasikan dengan menaikkan harga dasar beras. 

Dari simulasi kebijakan ini diketahui bahwa impor beras akan sanagat besar ketika kebijakan 4 yang dipilih yaitu menaikkan harga dasar gabah dan menarik subsidi pupuk sekaligus sebanyak 20%. Dengan harga beras dunia jauh dibawah harag beras domestik, maka sangat menguntungkan untuk mendatangkan beras impor guna memasok permintaan konsumsi beras yang bersifat inelastis tersebut.

Dari alternatif 4 kebijakan tersebut yang relatif sedikit berdampak buruk dan bahkan malah bisa terlihat menstabilkan kondisi dalam negeri adalah kebijakan ketiga yaitu menaikkan tarif impor sebesar 30%. Namun demikian, dengan liberalisasi perdagangan yang dimotori WTO dan Amerika serta sekutunya, penerapan tarif impor menjadi kendala politik dalam perdagangan internasional.

Penelitian ini atau simulasi kebijakan ini bisa dilanjutkan dari perspektif Rice Market Margin, yang selama ini mengambil cukup besar dari pasar perberasan nasional. Selain itu juga bisa menjadi perbaikan tata kelola pasar perberasan nasional. 

Secara lengkap, anda bisa membaca artikel jurnal tersebut disini (Economic Policies on Rice Commodity anda Welfare).
























Sabtu, 20 Maret 2021

[Buku] Ekonomi Beras Kontemporer

 Karya Prof. Bustanul Arifin, dengan tebal 198 halaman, diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, Tahun 2020.

Sumber gambar: www.gramedia.com


Seolah ingin menjawab dan memberikan tantangan dalam setiap perubahan jaman, buku ini menyajikan sejarah panjang kebijakan perberasan di Indonesia lengkap dengan dukungan data dan analisisnya. Namun, mengapa masih terjebak pada masalah yang seperti berulang meski sudah terjadi perubahan jaman.

Di awal tahun 2021, isu impor beras yang dilontarkan Menteri Perdagangan dan Menko Bidang Pereokonomian, menjadi tantangan terhadap teori/konsep dan perbaikan kebijakan perberasan yang telah dibahas secara lugas dalam buku ini.

Prof. Bustanul Arifin, dalam bukunya, secara gamblang menyebutkan godaan terberat dalam perdagangan beras internasional adalah adanya International Price Trap, jebakan harga beras internasional, dimana disparitas atau selisih harga beras dunia dengan harga beras di Indonesia cukup tinggi. Hal ini yang menarik minat para importir (dalam buku juga disebutkan ada "mafia") untuk mengambil peluang membeli dan memasarkannya di Indonesia. Dampak dari keputusan impor di saat ketersediaan beras masih memadai dipastikan menurunkan harga jual beras di Indonesia. Bulog sebagai intrumen negara yang berfungsi mengendalikan harga beras, agak kesulitan karena perubahan fungsi intitusi sejak era reformasi. Bulog bukan hanya berperan sebagai Public Sevice Obligation (PSO), namun juga sebagai lembaga komersial. Dualisme ini memang cukup berkonflik, karena dalam menjalankan PSO tersebut Bulog sangat tergantung dengan kebijakan lain yaitu penentuan harga pemerintah dan aturan penyaluran (distribusi) cadangan beras pemerintah. 

Selama ini, ketika Bantuan Sosial dalam bentuk beras baik dalam program Raskin atau Rastra, Bulog mampu mengandalkan program tersebut untuk menjual atau mengeluarkan stok cadangan beras pemerintah. Namun, sejak perubahan pola distribusi bansos menjadi uang tunai dan rakyat penerima bebas menentukan pilihan beras yang akan dibelinya, maka beras Bulog untuk Rastra mulai tidak laku, akhirnya menumpuk di gudang yang menambah biaya operasional penyimpanan. Bulog pun gagal mendistribusikan sesuai target, sehingga harus menanggung biaya penyimpanan dan kerusakan beras. 

Buku ini sudah memberikan gambaran besar dengan dukungan data cukup lengkap bagaimana sistem produksi beras, perubahan teknologi, stabilisasi harga, distribusi hingga industri perberasan. Tentu saja, dibahas juga beberapa kebijakan pemerintah dan masukannya kedepan, agar permasalahan yang ada tidak terjadi kembali atau dapat teratasi.

Pembahasan beras ini memang selalu menjadi trending topic, karena bukan hanya menjadi komoditas pangan pokok namun sudah menjadi standar stabilitas politik dan ekonomi di Indonesia. Membaca buku ini, kita bisa tergambarkan permasalahan mulai dari hulu (produksi dan input penyedianya), distribusi dan dampak kesejahteraan kepada petani. 

Secara agregat, produksi padi selalu mengalami peningkatan tiap tahun dan surplus dari kebutuhan konsumsi rakyat Indonesia. Namun demikiaan, bila dibedah lebih detail ada permasalahan pola yang berulang yaitu mulai bulan oktober hingga januari terjadi defisit dan puncak surplus ada di bulan Maret dan April. Itulah mengapa dunia politik dan ekonomi Indonesia menjadi heboh, ketika pemerintah mengumumkan rencana impor beras padahal bulan Maret dan April adalah peak season nya petani, berpanen raya, melimpah, yang kudunya berbahagia. Terkena isu impor, langsung harga turun. Aneh? Tentu saja tidak. Karena di buku ini pun sudah dijawab bagaimana struktur pasar beras di Indonesia baik dengan kaitannya perdagangan internasional maupun antar pulau. 

Salah satu kelemahan di sektor hulu bila menyangkut produksi memang karena alih fungsi lahan dan banyaknya petani yang menguasai lahan di bawah 0,5 Ha. Banyak petani yang mengusahakan lahan di bawah luas skala keekonomian. Kurang kuatnya industri pendukung produksi seperti perbenihan, pupuk, alsintan dan pestisida, juga membuat beratnya biaya produksi atau kalah kompetisi jika dibandingkan dengan petani luar. Belum lagi di sektor distribusi yang cukup menikmati banyak keuntungan dari perdagangan beras ini, karena petani tidak banyak yang memiliki usaha penggilingan dan pengeringan maka industri penggilingan besar sangat dominan menjadi penampung hasil panen petani. Belum lagi polemik dengan harga pembelian pemerintah, menjadi pelanggaran bagi perusahaan jika membeli jauh diatas harga yang sudah ditentukan. Inilah yang perlu ditinjau ulang, karena banyak jurnal penelitian yang menyatakan bahwa penentuan harga oleh pemerintah tidak efektif dan berdampak tidak sehatnya perdagangan beras. 

Membaca buku ini, memang sedikit membuat menahan nafas dan mengerutkan dahi karena begitu kompleksitas permasalahannya, meski dalam data pun sudah disajikan beberapa alternatif solusinya. Menurut opini saya, di sektor produksi harus ada reformasi agraria yang memberikan kesempatan bagi petani yang tidak punya lahan atau sempit untuk menambah lahannya dengan cara menghidupkan tanah mati atau pemerintah memberikan lahan yang tidak dimanfaatkan pemiliknya (lahan nganggur) kepada mereka. Setela lahan tersedia untuk diolah maka bantuan modal awal untuk mengolah dan mengelolanya juga perlu dijadikan kebijakan sebagai bagian pengeluaran pemerintah yang rutin. Lallu, mulai melakukan revolusi industri dengan mempermudah masuknya inovasi dan pengembangan usaha perbanyakan secara masif di dalam negeri (pabrik/industri pertanian), sehingga uang belanja untuk alsintan bisa berputar dalam industri dalam negeri. Sebagaimanan dipaparkan dalam buku tersebut, perlu ada perbaikan tugas dan fungsi Bulog sebagai lembaga negara. Bila memang ditugaskan secara penuh untuk membangun cadangan pangan negara, maka perlu didukung oleh industri dan distribusi pangan di setiap daerah, sehingga punya gudang penyimpanan yang modern dan efisien.

Terakhir, saya sangat merekomendasikan bagi anda yang tertarik untuk mengetahui perberasan di Indonesia dengan membaca buku ini.  Dengan cara membaca berkecepatan sedang saja, anda bisa menyelesaikan membacanya sekitar 45 menit -1,5 jam. cukup untuk menjadi teman baik anda ketika naik kereta. 

Semoga perberasan di Indonesia segera stabil dan petani diuntungkan agar tambah sejahtera.

Salam Sehat.


Senin, 01 Maret 2021

Makan Anggur Mencegah Kanker Sekaligus Antipenuaan

 Apabila kita butuh sintesis energi untuk menjaga kestabilan gula di dalam darah, maka buah anggur menjadi pilihan pangan yang tepat karena mengandung zat mangan. Kadar mangannya sebesar 0,07 mg/100 gr buah anggur.  Kalium dalam anggur juga cukup tinggi sebesar 191 mg. Kalium bermanfaat untuk mengendalikan tekanan darah, terapi darah tinggi dan membersihkan karbondioksida di dalam darah. Mineral kalium dalam anggur ini juga bermanfaat untuk mengontrol tekanan darah tinggi dan mencegah serangan stroke. Adanya seng dan mangan dalam anggur bagus untuk para pria dalam menjaga kesuburuannya dan mencegah peradangan prostat (Prabantini, 2013).

Sumber gambar: republika.co.id

Selain itu, biji buah anggur mengandung pynogenol yang bermanfaat mampu menguatkan dan meningkatkan fungsi pembuluh darah. Memilki kemampuan memperlambat mutasi sel, sehingga dianggap bersifat antipenuaan.  Kulit anggur mengandung flavonoid, berperan penting dalam membersihkan pembuluh darah dari penyumbatan untuk mengatasi risiko stroke dan darah tinggi.

Zat resveratol pada kulit anggur mampu meningkatkan antibodi. Zat ini mampu meredakan perkembangan sel-sel yang tidak sehat seperti tumor atau kanker. Apabila dikonsumsi bersama dengan raw food dari nabati dengan antioksidan tinggi maka bisa meredam pertumbuhan kanker.

Mengkonsumsi anggur secara langsung atau jus anggur bisa membantu membersihkan liver dan membantu fungsi ginjal. Kandungan saponinnya sangat berguna untuk menghambat dan mencegah penyerapan kolesterol di dalam darah. 

Bagitu banyak manfaat dari buah famili Vitacea dan genus Vitis ini, maka sangat direkomendasikan untuk setiap hari memakan anggur atau meminum jusnya sebagai salah satu komponen menu makanan sehat. 

Sumber: Prabantini, Dwi. 2013. 18 Makanan dengan Kekuatan Dahsyat Menangkal Kanker. Rapha Publishing. Yogyakarta

 

Sabtu, 20 Februari 2021

Tantangan Pengembangan Food Estate

Food estate bisa diartikan sebagai budidaya yang dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industri yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, modal serta organisasi dan manajemen modern. Ada kata kunci yang cukup menarik, jika dilupakan hal tersebut akan gagal lah food estate, yaitu sistem industri. Secara sederhana, proses industri adalah proses produksi secara masal dan berkesinambungan. Layaknya pabrik manufaktur, industri di sektor pertanian pun harus terintegrasi dengan pabrik olahan setelah diproduksi/panen minimal pabrik pengemasan sebelum produk hasil dipasarkan. Food estate akan mudah dijalankan bila ada pabrikan yang secara berkelanjutan siap menerima dan mengolah hasil pertanian dan sekaligus mendistribusikan hingga ke level pasar. 

Sumber gambar: rri.co.id

Pengembangan food estate sudah pernah dikembangkan di era Presiden Soeharto, kita kenal dengan pengembangan lahan gambut 1 juta hektar di Kalimantan Tengah. Dengan teknologi tinggi dan biaya cukup besar, ternyata belum berhasil menjadikan lahan gambut sebagai food estate yang berkelanjutan. Kemudian, di era Presiden SBY, dimunculkan kembali konsep Merauke Integrated Food and Energy Estate atau disingkat MIFEE. Selain di Merauke, juga dikembangkan di Kalimantan. Untuk program yang kedua ini, pemerintah telah menyiapkan kolaborasi antar lembaga dalam mengatur kemudahan investasi sehingga perusahaan besar bisa menjadi motor penggerak yang bisa bekerjasama dengan para petani. Sayangnya, hal ini pun tidak berlanjut dan perusahaan yang siap menjalankan industri pun tak mampu beroperasi secara berkesinambungan.

Kini, pemerintah memunculkan kembali program food estate yang digarap antar kementerian/lembaga negara sebagai salah satu strategi meningkatkan ketahanan pangan. Nasution dan Bangun (2020) menjelaskan ada 3 (tiga) tantangan yang harus dihadapi dalam pengembangan food estate ini kembali yaitu:

1. Pemilihan lahan dan adanya trauma permasalahan lingkungan di masa lalu. Program pembukaan lahan gambut menjadi pertanian menyisakan sekitar 400.000 hektar hutan tropika basah berubah menjadi lahan terbuka, pola tata air dan kualitasnya yang berubah. Penebangan pohon di hutan tropis saat itu menyebabkan banjir di musim hujan dan mudah terbakarnya di saat kemarau.

2. Sumber Daya Manusia dan konflik dengan masyarakat setempat. SDM menjadi salah satu faktor kegagalan program sebelumnya. Dibutuhkan keterampilan dan keuletan yang cukup tinggi dalam mengelola pertanian di lahan gambut. Selain itu, keberadaan banyaknya pendatang bisa memicu konflik dengan tenaga kerja lokal karena perbedaan etos kerja dan tingkat pendidikan.

3. Anggaran. Pengembangan food estate sangat membutuhkan anggaran besar karena haruslah terintegrasi dengan berbagai sarana prasarana mulai dari hulu hingga hilir. Dibutuhkan pembangunan jaringan irigasi, rehabilitasi lahan, dan penggunaan berbagai teknologi pertanian lainnya. 

Yang cukup menarik, polemik dari program dan juga sekaligus tantangan kedepan adalah adanya konflik lahan antara investor dan masyarakat. Apalagi dengan potensi luasan lahan 165.000 ha yang akan digunakan dan menjadi target food estate. Dari luasan potensi tersebut, ada 79.500 ha merupakan lahan tidak produktif yang ditinggalkan oleh petani pada program pengembangan lahan gambut 1 juta ha, serta disinyalir adanya bahan sulfidik yang bersifat racun.

Pemerintah telah menetapkan bahwa tahun 2021 menjadi pelaksanaan food estate di Kalimantan Tengah yang diperkirakan membutuhkan anggaran triliunan rupiah. Sebagai tahap awal, komoditas yang diusahakan adalah padi, singkong dan jagung serta komoditas strategis lainnya. Prioritas sasaran food estate berada di lahan yang sudah pernah dikembangkan, karena lebih efisien, sebagai perbandingan biaya: membuka lahan baru dibutuhkan 30 juta rupiah per hektar sedangkan penggunaan bekas program terdahulu hanya butuh 9 juta rupiah per hektar. 

Food estate ini merupakan kerja besar yang harus digarap bareng dengan pola kolaborasi yang apik agar kegagalan masa lalu tak terulang. Pengidentifikasian para pelaku pembangunan harus dilakukan sejak awal sehingga masing-masing bisa melakukan kerja sesuai perannya. Untuk food estate 2020-2023, Kementerian Pertanian berperan dalam penyediaan saranan produksi dan pengawalan budidaya, Kementerian PUPR berperan dalam rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi, Kemendesa PDTT berperan dalam merevitalisasi lahan transmigrasi eksisiting, Kementerian LHK melakukan konservasi dan rehabilitasi lahan gambut, penataan jelajah satwa, tanah objek reforma agraria/TORA dan perhutanan sosial. Kementerian BUMN berperan dalam mewujudkan corporate farm seluas 20 ribu hektar. Kementerian ATR melakukan penetapan Rencana Desain dan Tata Ruang (PDRT), validasi tanah dan sertifikat (Nasution dan Bangun, 2020).

Tentu saja, karena sudah dianggarkan di masing-masing kelembagaan negara termasuk di pemeintahan daerah, pasti akan dilaksanakan sesuai tugas dan fungisnya masing-masing lembaga tersebut. Sebagai contoh, Kementerian Pertanian akan memberikan banyak bantuan agar petani/kelompok tani di lokasi program bisa berproduksi dan memproduktifkan kembali lahan tersebut. Baik bantuan sarpras maupun tenaga ahli dan pendampingan. Begitu juga Kementerian lain, bahkan Kemenhan sudah mempublikasikan hasil panen dari food estate yang mereka kawal. 

Sebagaimana pembahasan di awal, kunci konsep food estate ini adalah di proses industrialisasinya. Untuk itu, seyogyanya Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan turut aktif menggagas dan membuat kegiatan terintegrasi dengan food estate ini, bagaimana menjadikan hasil pertanian sebagai satu kesatuan proses industri. Maka, perusahaan yang hadir diusahakan berupa perusahaan yang membantu dan menampung hasil pertanian sekaligus mendistribusikan ke pasar. Perusahaan layaknya menjadi pabrik penampung yang akan menstandarkan produk sehingga bisa dikemas dengan sebuah produk dengan merk komersial. 

Untuk memproduktifkan kembali lahan yang telah ditinggalkan dan agar biaya dan teknologi yang dikembangkan tidak sia-sia, maka perlu ada terobosan kebijakan terutama dalam masalah kepemilikan lahan. Para petani atau calon petani harusnya diberi kemudahan untuk memiliki lahan disana, bila perlu diberikan secara gratis dengan syarat hanya boleh difungsikan untuk pertanian, tidak boleh dijual dan siap hidup disana untuk mengelola tanah tersebut. Dari 79.500 hektar saja, bila per keluarga diberikan masing-masing keluarga diberikan tanah seluas 5 ha, maka akan ada 15.900 keluarga yang mendapatkan usaha tani baru disana. Namun, jika status tanah masih milik negara dan ditawarkan untuh hak guna pakai, peluang usaha tentu saja hanya menyasar kepada investor besar. Masyarakat sekitar hanya memperoleh peluang kerjasama dan kesempatan menjadi karyawan/buruh perusahaan tersebut.

Proses berkelanjutan program food estate perlu ditopang oleh supply chain yang baik terutama disektor industri pangan dan minuman yang menjadi perantara penerima hasil produksi para petani. Sebagai tahap awal, pastilah dibutuhkan modal besar untuk membangun infrastrukturnya sehingga memang wajar jika program ini ditangani oleh BUMN dan pemerintah, karena diawal program pasti belum bisa memberikan keuntungan komersial. Setelah semua infrastruktur terbangun dengan baik termasuk jalur transportasi, maka otomatis akan banyak investor yang berani masuk untuk ambil peranan dalam program besar ini karena memiliki peluang usaha yang menjanjikan.






Selasa, 16 Februari 2021

Meningkatkan Imunitas Tubuh dengan Konsumsi Tomat

 Dalam Buku "18 Makanan dengan Kekuatan Dahsyat Menangkal Kanker" karya Dwi Prabantini, disebutkan bahwa jus tomat yang dicampur wortel akan menambah energi dan imunitas tubuh. Tomat, sayuran yang cukup mudah diproduksi di Indonesia, memiliki begitu banyak manfaat bagi tubuh manusia. Cukup sedih, jika melihat harga tomat jatuh sehingga petani pun tidak bisa menikmati manfaat tomat dengan keuntungan usaha menanamnya.

Sumber gambar: klikdokter.com

Warna merah pada tomat banyak mengandung likopen, antioksidan yang mampu mengikat radikal bebas di tubuh akibat rokok, polusi dan ultraviolet. Likopen cukup ampuh mencegah kerusakan sel yang mengakibatkan kanker prostat, pankreas dan leher rahim. Likopen memiliki kemampuan 10 kali lipat dari vitamin E sebagai antioksidan. Setelah diserap tubuh, likopen tomat dengan cepat melindungi sel darah putih dari kerusakan akibat radikal bebas. Dalam banyak penelitian, likopen terbukti mampu menghambat perkembangan sel-sel kanker terutama kanker prostat. 

Selain likopen, ada juga kandungan karoten dan anthocyanin yang bermanfaat mencegah kanker, meningkatkan kesehatan mata dan kemampuan kognitif serta memcegah resiko penyakit saraf, antiradang, mencegah diabetes dan antipenuaan. 

Tomat juga sumber vitamin C yang cukup besar, 100 gr tomat bisa untuk 20% kebutuhan vitamin C tubuh tiap hari. Selain itu juga mengandung Vitamin A yang bisa memenuhi kebutuhan tubuh 10% dari 100 gram Tomat untuk tiap harinya.

Tomat atau Lycopercisum esculentum mill  yang masuk keluarga Solanaceae (perdu) ditemukan awalnya di Peru, Bolivia dan Ekuador, menjadi tanaman sayuran yang mendunia dan mudah ditemukan dimanapun. Manfaatnya yang cukup banyak, tidak tersosialisasi dengan baik bahkan terkesan hanya dijadikan sayuran bahan sambal. 

Kurang kuatnya supply chain di Indonesia membuat banyak hasil petani tomat tidak terserap dalam industri pengolahan makanan dan minuman. Padahal, selain dikonsumsi segar, tomat bisa dijadikan minuman jus dan saus yang bisa bertahan lebih lama dan bisa meningkatkan kandungan likopennya ketika diolah. 

Meskipun tergolong sayuran yang murah dan bahkan petani sering rugi, sayangnya tidak didukung dengan industri pengolahan makanan dan minuman yang bisa memproduksi secara masal, sehingga ada produk jus kemasan yang murah dan bisa diakses semua kalangan. Di supermarket besar, banyak tersedia kemasan jus tomat yang bisa disimpan di kulkas sehingga bisa lebih lama bertahan.

Bila produksi memang melimpah, mengapa masih banyak yang tidak dimanfaatkan untuk diolah? Bukan hanya dikonsumsi atau dijual segar. Inilah masalah distribusi. Makanan yang murah meriah, namun tidak semua mengerti akan menfaatnya dan malah menyia-nyiakannya.

Apalagi di era pandemi ini, konsumsi tomat yag menyediakan banyak kandungan gizi, bisa membantu meningkatkan imunitas tubuh. Bagaimana caranya agar tomat tidak hanya tersedia dalam bentuk segar, tetapi sudah bentuk olahan minum (jus) yang menyehatkan dengan harga terjangkau semua kalangan?

Semoga tidak ada petani yang harus gagal panen karena murahnya harga tomat. Menuju industri pertanian dan pangan menjadi sebuah kebutuhan. Bukan lagi mimpi. Harus diwujudkan untuk ketahanan dan kedaulatan pangan di Indonesia. 


Kamis, 07 Januari 2021

Ketahanan Pangan Bagi Kebanyakan Orang Miskin

 Policy lesson from Indonesia.

Walter P. Falcon menuliskan topik ini dengan pendekatan kasus di Indonesia. Termuat di Buku "The Evolving Sphere of Food Security" yang diterbitkan Oxford University Press Tahun 2014.



Analisisnya menggunakan setiap kebijakan dalam periode pemerintahan sebelum Tahun 2014. Bagaimana Soeharto, dengan segala sisi negatifnya, dianggap mampu memberikan perhatian lebih terhadap ketahanan pangan. Swasembada yang pernah dicapai, ternyata sulit untuk dilakukan kembali karena kebijakan kepemilikan dan pengembangan tanah yang menyebabkan banyak alih fungsi lahan.

Proses setiap periode dengan kebijakan ketahanan pangannya, dianggap cukup luar biasa. Pendekatan Indonesia yang melibatkan keterlibatan banyak lembaga dengan pengaturan kebijakannya telah membuahkan hasil dan desain ketahanan pangan serta penerapannya. Ada 7 hal yang perlu diperhatikan oleh para analis kebijakan dan pembuat kebijakan berikutnya, yaitu:

  1. Para pemimpin di Indonesia sangat menyadari berbedanya kebijakan antara orang miskin sebagai konsumen dan para petani kecil, sehingga ada kebijakan untuk pangan dan ada kebijakan untuk pertanian.
  2. Para teknokrat sangat memahmi peran penting kebijakan ekonomi makro (seperti nilai tukar, suku bunga, perdagangan, dll) untuk ketahanan pangan. Koordinasi yuridis oleh Kementerian Perekonomin dengan pertanian, BULOG dan lembaga lainnya yang terkait menjadi kunci utama keberhasilan kebijakan tersebut.
  3. Kestabilan harga beras di Inonesia sangatlah penting untuk memberikan rasa aman kepada konsumen dan insentif bagi petani. Pendekatan ini membutuhkan analisis yang signifikan, keuangan dan kemampuan penerapan kebijakan. Hal ini mungkin yang sangat kurang diimplementasikan di banyak negara berkembang.
  4.  Subsidi input dilihat bukan sebagai baik atau buruknya, namun tergantung dengan kondisi yang dialami. Subidi pupuk merupakan kebijakan yang dianggap baik bagi penggunaan dana publik (APBN). Sedangkan subsidi pestisida merupakan kebijakan terburuk dan salah untuk kebijakan pangan di era Soeharto.
  5. Pengembangan dan peningkatan penggunaan teknologi untuk beras sangatlah penting dan utama bagi penguatan ketahanan pangan, yang selama ini masih mengimpor beras. Begitu juga, sangatlah penting untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi petani dalam menerapkan perbaikan/peningkatan teknologi yang digunakan.
  6. Paket reformasi kebijakan yang berurutan, terbatas pada waktu tertentu, secara progresif memberikan perbaikan insentif patenai, meningkatkan efisiensi pemasaran dan menyediakan pangan pokok bagi rumah tangga miskin.
  7. Pendekatan kemanusian dari kesuksesan Soeharto, disamping dengan segala kesalahannya adalah bagaimana menekankan kualitas hidup perdesaan, keluarga berencana dan kesehatan perdesaan. Para teknokrat dan ekonom kelas dunia pun, menggunakan pendekatan inklusif, selangkah demi selangkah untuk menggerakkan sektor pertanian. 
Saran tersebut diatas di publis tahun 2014, di era Presiden SBY, yang tentu saja masih sangat relefan untuk digunakan sebagai pelajaran dan kehati-hatian apa yang akan dilakukan kedepan. Falcon mengaskan kembali selain menganggap keberhasilan kebijakan yang berkesinambungan dalam hal ketahanan pangan, masalah utama yang dihadapi Indonesia adalah masalah korupsi. Faktor korupsi inilah yang bisa mengagalkan segala kebijakan apapun yang dianggap baik. 
Ternyata, hingg tahun 2020 ini pun masih terjadi dengan munsculnya kasus korupsi bantuan sosial oleh Menteri dari PDIP, yang kemudian digantikan oleh kader yang lain.

Sebagai catatan yang mungkin bisa dirasakan di masa pandemi ini, koordinasi untuk penguatan ketahan pangan perlu diperkuat dengan dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator yang bisa mengkoordinia antar Kementerian/Lembaga Negara dan bersama Kemendagri juga mengkoordinir pemerintah daerah agar kebijakannya searah dan sama targetnya.
Sejak era Soeharta, urusan pangan ini bukan dilakukan oleh satu Kementerian, namun langsung dipimpin oleh Presiden melalui kementerian koordinatornya. Dari saran-saran tersebut, sesungguhnya yang bisa kita perhatikan dalam kebijakan ketahanan pangan adalah:
1. Adanya koordinator yang secara langsung mampu mengkoordinir semua lembaga dalam urusan pangan.
2. Memperhatikan semua orang miskin agar bisa mengakses pangan, kesehatan, dan lainnya.
3. Menstabilkan harga pangan agar orang miskin tetap bisa mengakses dan petani tidak merugi.
4. Kebijakan ekonomi makro yang stabil sehingga tidak mempengaruhi kepada sektor pertanian dan urusan pangan.
5. Mengutamakan pembangunan perdesaan agar memiliki kemampuan akses yang adil dan merata.
6. Meningkatkan pengembangn industri pertanian agar petani bisa menikmati kemajuan teknologi di sektor pertanian.
7. Pengaturan kembali subsidi yang baik bagi ketahan pangan. alihkan subsidi pestisida menjadi subsisdi pertanian organik. 
Pekerjaan rumah besarnya, kapan korupsi akan menghilang, agar semu akebijakan benar dan baik bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia.


Nagoya, 7 Januari 2020